We have 88 guests and no members online
Sektor pariwisata tiap tahunnya selalu menyumbang angka sangat besar. Tak dapat dipungkiri, Indonesia semakin membuka mata untuk menyelamatkan sektor pariwisata dari kondisi terburuknya. Lambat laun, Indonesia semakin tergantung pada sektor ini. Buktinya sudah terlihat dari banyaknya kerjasama pariwisata nasional yang melirik Bali sebagai destinasi utama. Namun, hal inilah yang mengubah Bali menjadi sebuah pulau yang menopang perekonomiannya terhadap sektor pariwisata.
Kontribusi Bali selama ini pun dianggap sebagai alat vital pertumbuhan pariwisata nasional. Terbukti dengan pendapatan sektor pariwisata Bali yang menyumbangkan angka cukup besar terhadap devisa nasional. Menurut tulisan Pramana Wijaya di balipost.com yang berjudul "Kontribusi Devisa 28,9 Persen, Bali Jangan Hanya Dijadikan Obyek Pariwisata" menyebutkan bahwa kontribusi devisa pariwisata Bali terhadap nasional pada 2019 mencapai Rp 75 triliun. Selain itu, Bali juga diungkapkan telah berkontribusi sebesar 28,9 persen dari total devisa nasional yang mencapai Rp 270 triliun pada tahun 2019.
Nama Pulau Bali sebagai Pulau Dewata semakin menggema di mata dunia. Seiring berjalannya waktu, sektor pariwisata Bali membawa perubahan cukup signifikan bagi perekonomian lokal. Pengaruh modernisasi adalah penyebab utama perubahan sentral perekonomian Bali.
Datangnya wisatawan ke Bali membawa pandangan baru bagi masyarakat. Mereka mulai memandang pariwisata sebagai sektor perekonomian yang strategis. Terlebih dengan dijadikannya Bali sebagai destinasi pariwisata nasional. Adanya promosi jangka panjang terhadap pariwisata Bali melahirkan anggapan bahwa sektor ini lebih berkembang. Tentunya dibandingkan dengan sektor pertanian. Akhirnya, tidak sedikit masyarakat mulai berkutat pada sektor pariwisata. Bahkan, perekonomian mereka mulai bergantung pada sektor ini. Kendati demikian, benarkah sektor pariwisata adalah tempat aman Bali untuk berlabuh?
Dampak positif yang diterima Bali dari sektor ini sudah tidak dapat diragukan lagi. Bertahun-tahun lamanya, Bali hanya memfokuskan pandangannya pada sisi positifnya. Namun, jarang sekali Bali melirik ke sisi yang cukup memprihatinkan. Terlebih mengenai pendapatan pariwisata Bali.
Benarkah sumber pendapatan pariwisata Bali dipegang langsung oleh masyarakat lokal? Mungkin saja. Namun, menurut Ketua Bali Tourism Board, Ida Bagus Agung Partha Adnyana dalam video ABCNews In-depth yang berjudul "The Year Bali Tourism Stopped" mengungkapkan bahwa seluruh pendapatan pariwisata selalu datang, tetapi 70 persen keluar dari Bali. Hal ini disebabkan oleh banyak bisnis di Bali tidak dioperasikan langsung oleh masyarakat lokal.
Tanah diambil alih, masyarakat tak dapat berkutik. Pernyataan tersebut sepertinya cocok menggambarkan kondisi ini. Bisnis berkembang di Bali lebih banyak dioperasikan oleh pemilik asing. Mereka kemudian mempekerjakan masyarakat lokal. Dampaknya lapangan pekerjaan memang terbuka. Namun, banyak masyarakat lokal yang dibiayai sangat rendah. Bak budak di tanah sendiri. Dengan demikian, kualitas sumber daya manusia menjadi permasalahan Bali untuk bertahan di sektor pariwisata. Bukankah seharusnya Bali mendapatkan peluang untuk meningkatkan kualitas SDM-nya, bukan dengan merelakannya dipakai oleh pemilik asing?
Di balik sisi, Bali sampai saat ini tengah berjuang dengan kondisi lingkungannya. Isu lingkungan memang tidak akan pernah habis dibahas. Apalagi saat kondisi sawah di Bali mulai berkurang. Kondisi pasir pantai yang bersih jarang ditemukan. Bahkan, masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih.
Sesungguhnya, infrastruktur Bali belum memadai untuk bertahan pada sektor pariwisata. Terlebih, masyarakat Bali selalu mengenyampingkan kondisi lingkungannya. Tak dapat disangkal, bila sampah plastik menjadi pokok permasalahan lingkungan di Bali. Produksi sampah plastik yang melebihi batas. Kemudian, sampah akan terbuang ke laut. Maka, masalah krisis air bersih kembali muncul ke permukaan.
Menurut Deutsche Welle dari tulisannya berjudul "Bali, Surga Wisata yang Kekurangan Air Bersih" yang dimuat di detiknews.com menyebutkan tentang tindakan eksplorasi dan eksploitasi air untuk sektor pariwisata menyebabkan Bali mengalami krisis air bersih pada tahun 2019. Data Yayasan IDEP tahun 2019 turut mendukung pernyataan tersebut. Data IDEP mengungkapkan sebanyak 65 persen air di Bali digunakan untuk kebutuhan pelayanan wisata.
Lagi-lagi, sektor pariwisata menjadi kunci utamanya. Bali sesungguhnya perlu waktu panjang untuk berbenah. Jika Bali tetap menutup mata, bukan tidak mungkin Bali akan tertidur kembali. Apabila Bali tidak bebenah, sektor pariwisata akan tertimbun. Lambat laun, permasalahan lingkungan akan dianggap sebagai kekalahan Bali yang utama.
Jika Bali tetap beranggapan bahwa permasalahan lingkungan tidak memengaruhi sektor pariwisata, itu pertanda Bali sudah tidak mampu berjuang. Demi memperjuangkan sektor pariwisata, kualitas sumber daya manusia memiliki peran penting. Tanpa jati diri sesungguhnya, Bali tidak akan tetap tegak menjadi Bali. Ciri khas kesederhanaan sedari dahulu perlu diterapkan kembali. Jangan mau Bali diforsir terus menerus pada sektor pariwisata. Sekarang waktunya Bali berjuang. Terapkan kesederhanaan serta kejelasan yang akan mengarahkan kepada hasil yang maksimal. (mcy)