We have 203 guests and no members online
Oleh : Made Kaysha Mauri Ayudya
Dalam dunia pendidikan, seluruh instansi pendidikan sepatutnya berusaha menyediakan fasilitas terbaik untuk anak bangsa. Dari sabang hingga merauke, tersebar ribuan sekolah hingga perguruan tinggi. Meski begitu Indonesia masih terlalu luas dan pemerintah masih setengah hati. Tak heran masih ada daerah tanpa fasilitas pendidikan yang memadai. Padahal, pendidikan adalah hak setiap warga negara. Ketika masyarakat pelosok berlomba-lomba menginjakkan kaki di instansi pendidikan terbaik, banyak instansi pendidikan lainnya yang menganggur menunggu penghuni.
Kondisi yang tak jauh berbeda kini tengah dirasakan oleh PTS (Perguruan Tinggi Swasta) di Indonesia. Semenjak ketetapan pemberlakuan status PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum), ditemukan ratusan PTS yang menggulung tikar. Meski jumlah PTS di Indonesia menggunung, minat calon mahasiswa pada PTN yang membendung tak bisa ditahan. Akibatnya, PTN-BH dinilai melemahkan daya saing PTS dengan menurunnya intensitas penerimaan mahasiswa baru.
PTN-BH adalah status otonomi penuh yang diberikan oleh pemerintah kepada PTN untuk mengelola keuangan dan sumber dayanya secara mandiri. Namun, dalam perjalanannya mayoritas PTN masih sulit untuk menjangkau kemandirian status finansialnya seperti yang diharapkan. Harapan agar PTN-BH tak terlalu bergantung pada APBN menjadi sirna. Banyaknya tantangan dalam menyangga status PTN-BH dilimpahkan lagi dan lagi kepada mahasiswa. PTN-BH memilih jalan cepat dengan mengkapitalisasi pendidikan. Menggandakan porsi bangku kuliah dan menjual tinggi harga UKT (Uang Kuliah Tunggal) adalah trik lama yang sayangnya selalu jitu.
Kebijakan seperti ini berakhir memperpanjang dominasi PTN dibanding PTS. Apalagi PTS mengandalkan hampir seluruh biaya operasionalnya pada penerimaan mahasiswa baru. PTS akhirnya akan sesak napas dan kesulitan menjaga kualitas serta kuantitasnya. Padahal PTS dirancang dengan peran menjangkau masyarakat yang belum terlayani PTN. Realitanya, PTN mendominasi di Indonesia. Secara tak langsung PTS kehilangan perannya untuk menyejahterakan masyarakat pelosok. Ketimpangan pendidikan pun tak akan membaik. Di saat merencanakan PTN-BH, pemerintah seharusnya mempertimbangkan akibatnya kepada PTS.
PTS akan selalu dituntut untuk berinovasi demi mempertahankan stabilitasnya. Tak cukup dengan surutnya calon mahasiswa, mereka masih harus menghadapi penurunan daya tarik hingga melangkanya mitra industri. Belum lagi beban operasional yang membuntuti. Jika dibiarkan, tak heran dalam beberapa tahun kedepan PTS yang tersisa masih bisa dihitung jari. Untuk menjalankan PTN dan PTS secara beriringan diperlukan keseimbangan. Pemerintah tak bisa hanya mendorong satu aspek dan mengabaikan yang lain. Diperlukan pengaturan jelas agar distribusi calon mahasiswa serta kebijakan-kebijakannya lebih merata. Pemberian subsidi dan intensif bisa menjadi pilihan terutama bagi PTS yang difokuskan kepada masyarakat terpelosok.
Pendidikan yang adil dan merata adalah impian bangsa. Untuk mewujudkannya diperlukan pengorbanan. Baik PTN maupun PTS seharusnya mampu bekerja sama dan saling melengkapi, bukannya selalu bersaing. Jika salah satu tak mampu hadir dan melayani, yang lainnya diharapkan dapat mengambil peran. Karena pendidikan bukanlah tentang permainan bisnis semata.