Oleh: Putu Masayu Cahyaning Lestari
Persoalan generasi milenial dan perannya dalam sosial politik tak kunjung reda. Hari demi hari dan tahun demi tahun. Ketika mencuat permasalahan pemilihan umum, jutaan mata mengarahkan pandangan pada para milenial. Milenial menjadi salah satu generasi kelahiran tahun 2000 hingga saat ini yang telah terpapar digitalisasi sejak dini. Hal tersebut secara tidak langsung membuat digitalisasi telah terukir dalam jiwa generasi milenial. Bukan tak mungkin, jiwa para milenial telah terbalut oleh pemikiran maju dan serba digital. Namun bukan berarti perannya dalam sosial politik dapat dipertanyakan begitu saja. Melainkan dengan jiwa tersebut, para milenial harus mendapatkan pertimbangan dalam mengambil peran pada sektor sosial politik.
Sejauh ini, peran milenial dalam sosial politik dapat dikatakan masih terbatas secara tidak langsung. Satu tindakan milenial yang bersosial politik secara langsung adalah melalui pemilihan umum. Namun permasalahannya, hanya seperempat bagian dari milenial saja yang dapat bersosial politik secara langsung hingga saat ini. Sisanya adalah para milenial yang belum mencukupi umur. Secara tidak langsung, tindakan milenial dalam bersosial politik dapat dilihat pada media digital. Jiwa digitalisasi para milenial menekankan kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat. Dengan begitu, sudah tidak mengejutkan lagi apabila para milenial menuntut kebebasan-kebebasan dalam hal ‘Hak Asasi Manusia’ yang telah tertuang dalam sejumlah undang-undang yang ada.
Belakangan ini, para milenial seakan terus menunjukkan taringnya demi perubahan kepada para pemerintah. Milenial melakukannya melalui kalimat-kalimat mengkritisi pemerintah yang semakin digaungkan, bersama generasi sedigitalisasi, generasi Z. Bukan hanya sebatas mengkritisi dalam media digital, milenial pun seakan menuntut kebebasannya untuk berekspresi dan berpendapat secara langsung di ruang publik.
Tanpa perantara digital, itu seakan kesan yang milenial ingin ubah. Mendengarnya seakan milenial tidak pantas untuk mendapatkan kebebasan tersebut. Namun sebetulnya, tindakan mengkritisi inilah yang menjadi satu-satunya jalan para milenial untuk berperan secara tidak langsung pada sosial politik. Bentuk peran milenial untuk perubahan sosial politik yang kurang mendapat perhatian selama ini.
Pemikiran digitalisasi para milenial sangatlah berbeda. Buktinya terlihat dari cara milenial mengkritisi dan berekspresi melalui hal-hal yang sunguh kreatif. Mural, contohnya. Di tengah masa pandemi, gambar mural menjadi cara milenial untuk berekspresi sekaligus mengkritisi keadaan pemerintah negerinya sendiri. Contohnya adalah mural “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” di Provinsi Jawa Timur yang mencoba menyampaikan pesan kritis di masyarakat. Bukan hanya di satu tempat. Namun selayaknya digital berbasis langsung, gambar-gambar mural ini mulai beredar di tengah generasi milenial sebagai salah satu cara untuk berekspresi.
Beberapa tembok pinggir jalan di sebagian Provinsi di Indonesia mulai dipenuhi mural-mural kreatif yang menyampaikan pesan kritis. Dampak positifnya tentu saja gambar mural dapat menjadi salah satu cara masyarakat untuk berekspresi ke depannya. Mural juga dapat menjadi cara pemerintah untuk mengetahui masukan dan aspirasi rakyat secara langsung. Menurut tulisan Mustakim yang berjudul “Mural, Kritik Sosial atau Kriminal?” yang dimuat dalam laman Kompas, mengungkapkan bahwa mural adalah salah satu media atau sarana masyarakat untuk berekspresi, menyampaikan pendapat atau mengkritik penguasa yang lazim di negara demokrasi. Dengan demikian, mural dapat dikatakan sebagai media berekspresi masyarakat.
Namun masalahnya, sejumlah mural-mural kritis yang terlukis di dinding ruas jalan justru dihapus oleh pemerintah maupun aparat negara. Padahal sejumlah mural yang dihapus tersebut bukan mural-mural yang kontroversi. Melainkan hanya sebatas mural yang diisi kalimat kritis yang ditunjukkan secara halus. Tindakan agresif maupun represif dari pemerintah maupun aparat negara tak sepenuhnya diperlukan. Melainkan dialog terbuka dan perhatian khusus perlu diekspresikan pemerintah maupun aparat negara terhadap tindakan kritis para milenial dan generasi sedigitalisasi ini.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia perlu mendapatkan penegakan kembali di tengah pemerintahan saat ini. Dari sudut pandang positif, mural dapat dikatakan baik sebagai tindakan masyarakat, termasuk milenial, untuk menyadarkan pemerintah terhadap kondisi negara dan kebijakan yang dijalankan. Selain itu, mural juga berdampak positif untuk menunjukkan prinsip demokrasi di Negara Indonesia.
Namun dari sudut pandang berbeda, tindakan mengkritisi melalui mural tentu tidak mudah untuk diterima oleh masyarakat luas. Salah satu alasannya adalah karena mural sedikit mengganggu pemandangan. Alasan lainnya adalah perasaan tidak nyaman melihat mural yang terlukis di tembok atau pintu milik warga, seperti yang diungkapkan Syafiruddin dalam wawancara yang tertulis dalam artikel CNN Indonesia berjudul “Mural-mural yang Dihapus dalam Sepekan Terakhir” tanggal 28 Agustus 2018.
Mungkin memang benar, tindakan kritis para milenial ini akan melahirkan anggapan bahwa generasi muda Indonesia apatis terhadap kebijakan dan politik yang ada. Selaras dengan itu, besar kemungkinan tindakan kritis milenial ini akan melahirkan ‘pemberontakan’ baru dengan jiwa digitalisasi dan kritisnya. Tindakan kritis milenial ini memang melahirkan kesan cerewet dan tak kunjung berhenti hingga pemerintah mau melirik mereka. Namun tindakan ini belum efektif untuk mendapatkan balasan masuk akal terkait kebijakan sosial politik dari pemerintah. Justru balasan agresif dan represif berujung penghapusan mural-lah yang menjadi balasan tak langsung pemerintah.
Padahal bila diputar kembali, tindakan kritis para milenial yang berbentuk mural ini dapat muncul sebagai hasil pembungkaman kritik yang terjadi di media digital. Ajang unjuk taring para milenial untuk mengkritisi pemerintah di ruang publik maupun digital terus terasa terbungkam. Waktu milenial untuk membuktikan diri bahwa milenial layak dipertimbangkan di sektor sosial politik seakan terhenti di bawah perintah generasi-generasi senior.
Kritik kebebasan yang dilakukan milenial selama ini selalu dipandang sebelah mata. Keinginan milenial untuk menyadarkan pemerintah selalu terbungkam. Jika terbungkam kembali, maka dimana wadah yang layak bagi para milenial untuk berekspresi? Memang benar bila milenial belum menguasai sektor sosial politik secara keseluruhan.
Selain karena alasan sektor tersebut masih dikuasai oleh generasi senior, milenial dipandang belum layak dan belum mampu untuk menguasai sektor tersebut. Padahal milenial perlu diberikan kesempatan untuk berdialog dan bertindak kreatif di ruang publik. Namun bila kata ‘apatis’ selalu menjadi jawabannya, maka milenial perlu menempuh jalur lain yang sedikit mendesak para generasi senior agar kebebasan berekspresi dapat dipertegas kembali.