Oleh : Made Kaysha Mauri Ayudya
Agama Hindu di Bali dikenal akan berbagai jenis budaya dan tradisi yang tak lekang oleh waktu. Salah satunya adalah Hari Suci Siwaratri yang jatuh setiap Tilem Sasih Kapitu. Siwaratri yang berbahasa Sansekerta berasal dari kata Siwa dan Ratri. Siwa dapat berarti dewa ataupun pemaaf dan penuh harapan. Sedangkan Ratri dimaknai sebagai malam atau kegelapan. Maka, umat Hindu menerjemahkan Hari Suci Siwaratri sebagai malam pelebur kegelapan diri. Tetapi, Siwaratri bukan artinya meleburkan dosa, seringkali terjadi miskonsepsi. Siwaratri mengajak kita untuk merenungi dosa dan melakukan introspeksi diri.
Ada beberapa kegiatan simbolis yang biasa dilakukan selama Siwaratri. Diantaranya seperti Mona Brata (tidak berbicara), Upawasa (tidak makan dan tidak minum), serta Jagra (tidak tidur). Ketiga hal yang disebut sebagai Brata Ciwaratri ini dapat dilakukan sesuai tingkatannya masing-masing. Mulai dari Nista, Madya hingga Uttama. Semuanya dapat disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan umatnya.
Elemen menarik lainnya dari Siwaratri tak terlepas dari kisah Lubdaka. Cerita yang ditulis oleh Mpu Tanakung ini seringkali dikaitkan sebagai ajaran maupun bentuk kesadaran saat melaksanakan Siwaratri. Singkatnya, Lubdaka adalah kepala keluarga yang menghidupi dirinya dengan berburu hewan. Berbeda dengan hari biasanya, satu hari ini dia sama sekali tak mendapatkan hasil buruan hingga sore. Tetapi Lubdaka tak menyerah dan memutuskan untuk tinggal di hutan dan memanjat pohon. Agar tidak tertidur karena takut akan terjatuh, Lubdaka memetik satu persatu daun yang ada. Secara tak sadar ia menyesali seluruh perbuatan jahat yang pernah dilakukannya sepanjang hidupnya, termasuk menjadi pemburu hewan. Sebabnya, saat itu dia memutuskan untuk berhenti menjadi pemburu. Lubdaka yang beralih profesi menjadi petani lama kelamaan mulai sakit dan berakhir meninggal dunia.
Saat pasukan Cikrabala datang untuk membawa roh Lubdaka ke kawah Candra Gomuka yang berada di Neraka, Dewa Siwa mencegah mereka. Meski memburu binatang tak bersalah sepanjang hidupnya, ketika malam Siwaratri ia akhirnya merenungkan dosa-dosanya semalaman. Akhirnya ia dianggap layak mendapatkan pengampunan. Cerita fenomenal seperti ini dianggap menginspirasi banyak umat untuk mengikuti jejak Lubdaka. Tetapi bukan artinya semata-mata kita harus menjadi Lubdaka.
Lubdaka artinya pemburu, pemburu secara naluriah adalah mereka yang serakah maupun tamak. Tak dapat dipungkiri sifat seperti ini masih eksis di dunia yang semakin modern. Hanya saja mungkin berbeda bentuk. Zaman yang dinilai telah memasuki periode Kali Yuga menurut agama Hindu menandakan banyaknya moral manusia yang mulai kehilangan arahnya. Saat-saat seperti ini membuat hari suci seperti Siwaratri betul-betul dibutuhkan bukan hanya untuk dirayakan semata. Tetapi diresapi dan dilaksanakan. Agar keseimbangan dunia senantiasa terjaga.
Kisah Lubdaka dipergunakan untuk mengingatkan kita agar melepaskan sifat lubdaka dalam diri kita. Serta memaknai Siwaratri dengan merenungkan dosa dan menjadi pribadi yang lebih baik. Mungkin tak terasa susah, tetapi tak semua umat dapat melakukannya sepenuh hati. Masih ada yang hanya asal-asalan agar dianggap melaksanakan, padahal tak sesuai dengan nilai yang diajarkan.
Tetapi yang mungkin sering dilupakan adalah semua ini harus didasari dengan ketulusan hati. Saat melakukan malam Siwaratri, tak peduli seberapa lengkap brata dan tinggi tingkatan yang dilakukan, semuanya mungkin tak akan bermakna jika didasarkan oleh keserakahan itu sendiri. Melakukan sebatas berharap akan bernasib sama dengan Lubdaka. Alih-alih berharap menjadi Lubdaka, sudah saatnya melakukan refleksi diri bahkan tak hanya pada malam Siwaratri, dan fokus memperbaiki kualitas hidup agar niscaya mencapai moksa.