“Lebih baik Balimama, daripada Eropapa”
—Walter Spies (Roots, 2024).
Gemerisik laut membersamai sosok anomali berpakaian putih eksentrik, bertopi kerucut, dibopong oleh orang-orang. Kemudian, sosok itu menyelinap dalam keseharian, kapan saja dan di mana saja. Sosok itu tampak netral, tanpa ekspresi yang jelas—seolah juga siap ditafsirkan sebagai apa saja.
Itulah pembuka yang ditawarkan dalam film dokumenter Roots (2024) arahan Michael Schindhelm, seorang penulis, pembuat film, dan kurator budaya asal Jerman-Swiss yang dikenal dengan karya-karya dokumenternya seperti Bird's Nest dan The Chinese Lives of Uli Sigg. Film Roots yang berdurasi 110 menit ini menceritakan perjalanan hidup Walter Spies, seorang seniman Jerman yang tinggal di Bali sejak 1927, dan hingga kini dikenang sebagai sosok yang “membawa” Bali ke mata dunia. Diproduksi sejak 2019 dan tayang pada 2025, Roots menggabungkan dokumenter dan fiksi untuk mengeksplorasi warisan budaya Bali dan pengaruh sang anomali di dalamnya.
Seorang Anomali di Tanah Asing: Siapa?
Anomali yang digambarkan berpakaian serba putih dan bertopi kerucut dalam film Roots adalah Walter Spies. Sosok revolusioner seni di Jawa dan Bali. Lahir di Moskow dari keluarga Rusia-Jerman kelas atas, Spies menunjukkan bakat luar biasa dalam seni dan musik sejak dini. Namun, hidupnya berubah drastis saat Perang Dunia I pecah. Setelah tinggal di Berlin, pusat avant-garde seni dan ekspresi liberal pada 1920-an dan bahkan terlibat dalam pembuatan film Nosferatu, Spies tetap tidak menemukan kebebasan yang ia cari. Pada Oktober 1923, ia meninggalkan Jerman untuk selamanya dengan menaiki kapal kargo menuju Timur.
Beberapa tahun kemudian, Spies menemukan "surga rahasia" yang bernama Bali. Spies berbaur, belajar, dan mengilhami. Ia membentuk hubungan simbiotik dengan beberapa seniman lokal Bali. Salah satu kontribusinya yang paling fenomenal adalah keterlibatannya dalam mengembangkan tari Kecak bersama penari Bali, yakni I Wayan Limbak. Selain itu, gaya lukisnya yang menggabungkan surealisme tropis dan sensibilitas ala Henri Rousseau, menarik perhatian seniman dan tokoh dunia, termasuk Charlie Chaplin dan Margaret Mead.
Disebutnya sebagai anomali bukan tanpa alasan. Walter Spies datang bukan sebagai peneliti, bukan pula sebagai penjelajah kolonial, tetapi sebagai seniman yang kemudian justru menjadi simpul dalam sejarah budaya Bali modern. Spies juga tak bisa dikelompokkan secara tunggal: bukan warga lokal, bukan pula penjajah, bukan guru, tetapi juga bukan murid. Lagi dan lagi, siapakah Walter Spies?
Semakin masuk ke pertengahan film, semakin dibuat jelas bahwa Walter Spies dalam posisi yang ‘liminal’ atau anomali. Lantaran, di film ini, Spies adalah simbol dari hubungan budaya antara “yang datang” dan “yang menerima”. Tidak mendominasi budaya, melainkan yang mencari cara menjaganya.
Selain itu, Roots menampilkan beberapa tarian indah dari Dewa Ayu Eka Putri dan I Wayan Dibia, serta kanvas-kanvas karya seniman I Made Bayak dan Gus Dark yang memukau. Semua itu menjadi bukti nyata bagaimana budaya Bali terus bermekar melalui pelestarian yang tepat.
Paradoks Indahnya Akar Budaya di Bali
Dalam film ini, akar menjadi metafora filosofis yang terus diulang. Tentang sesuatu yang tertanam; tumbuh; dan terikat. Bali adalah tanah dari akar itu, tempat budaya mengalir dalam setiap tarian, ukiran, dan upacara. Namun, akar itu diceritakan tak tumbuh lepas dari Walter Spies. Ia menjembatani seni Bali dengan dunia luar bersama Cokorda Gde Agung Sukawati dan Rudolf Bonnet dengan menggagas Pita Maha, kelompok seniman yang mengangkat seni lukis Bali ke panggung dunia. Namun di balik itu, Pita Maha menjadi ruang kurasi yang juga menentukan siapa yang layak dipamerkan dan gaya mana yang dianggap “berkualitas”, sehingga perspektif luar masih membayang. Biarpun begitu, jejak Pita Maha kini dilanjutkan melalui Museum ARMA di Ubud sebagai ruang apresiasi seni Bali.
Film Roots menyuguhkan akar yang indah, dalam, dan terus tumbuh. Namun, akar itu tak hanya tumbuh di tanah Bali, tetapi juga dalam bingkai kamera dan visi kreatif orang asing. Keindahan akar itu menjadi tontonan dunia, tetapi siapa yang mengakar, dan siapa yang menikmati buahnya?
Inilah paradoks itu bersembunyi. Keterlibatan tangan-tangan orang Barat lain terutama lewat sosok Walter Spies yang membawa perhatian dunia pada seni Bali. Namun di sisi lain, perlindungan dan pelestarian dari dalam Bali sendiri terasa belum cukup kuat. Kondisi ini memicu masalah akibat kurangnya regulasi, termasuk isu lingkungan, yang secara perlahan mengikis akar budaya yang selama ini diagungkan
Bersama untuk Akar Kebersamaan
Lantas, bagaimana Bali menguatkan akarnya sendiri? Pupuk apa yang akan dipakai agar akarnya kuat, siapa pemupuknya? Adakah juga ‘siapa’ itu? Film ini tak memberi jawaban pasti. Justru di sanalah letak kekuatannya. Roots menyodorkan pertanyaan-pertanyaan yang tak sederhana, sembari menunjukkan bahwa ketulusan hati bisa menjadi pupuk terbaik bagi budaya: bukan soal siapa yang memberi, tetapi bagaimana usaha memberi kekuatan agar tetap bisa menjaga akar budaya yang ada.
Akhir film kembali ke alam laut yang membuka narasi, seolah menandai satu siklus: bahwa apa yang datang akan kembali, dan apa yang tumbuh akan terus mencari akarnya. Roots bukan sekadar dokumenter. Tapi, refleksi panjang tentang hubungan yang tak pernah sederhana antara datang dan terima—tentang bagaimana Bali terus mencari jati diri—di tengah dunia yang terus memperebutkan kelebihannya. (Sinta Dhyana)
[Tulisan ini memenangkan Juara 3 dalam Kompetisi Menulis Resensi Film ROOTS : Walter Spies Journey in Bali; oleh Niskala Studio, Museum ARMA Studio Bali]