Oleh : Iswari Maharani
Diantara lereng pegunungan, Desa Jinah merupakan salah satu desa terpencil yang hidup bersama dengan kekayaan alamnya. Oleh karena itulah, hampir setiap jengkal alam sana pasti dimanfaatkan untuk menyambung kehidupan mereka. Namun, ada sebuah telaga di tengah hutan sekitar atas desa yang sengaja ditinggalkan begitu saja. Semua orangtua Desa Jinah melarang anak-anaknya untuk berada di sekitar telaga tersebut, dikatakan telaga tersebut dapat menimbulkan tragedi, namun masih dirahasiakan orangtua dan anak-anak hanya mengangguk. Itulah mengapa telaga tersebut tak dimanfaatkan, hanya terurus oleh alam, tidak ada yang mengurungkan niat mendekatinya. Tapi suatu ketika, seorang warga yang tempat tinggalnya sekitar telaga melihat, ada seorang gadis suka berdiam diri di sekitar telaga. Awalnya dikira dedemit, setelah didekati untuk bertanya ternyata ia memang seorang gadis, manusia bukan dedemit, dan bukan orang yang berasal dari Desa Jinah.
Ia, dan telaga tengah hutan atas sana, bak sahabat sejati. Orang-orang desa tidak berani mengusiknya, karena bukan warga desa asli. Para warga lebih memilih melanjutkan aktivitas mereka. Selagi bukan warga desa mereka, peduli setan. Namun, ada pemuda desa yang selalu penasaran akan sesuatu yang ada. Ia sama sekali tidak percaya rumor, apapun itu namanya. Baginya, ada seorang gadis seusianya saja bisa memasuki telaga yang nyaris bak dongeng itu, membuat Fadril penasaran. Rasanya, mengapa ia bisa mendekati telaga itu sementara menurut Fadril tidak adil bila ia dilarang. Mulailah misi dari raja gebrakan desa, para warga padahal sudah bekerja keras agar tidak sampai ia bergerak. Terlambat…
* * *
Tomcat terus bernyanyi, langit beralih dari oranye menuju kebiruan tua. Menurut warga, ini ide yang beresiko. Tapi menurut Fadril, ia hanya ingin menerima jawaban, mengapa dan bagaimana. Kini ia berada di sekitar wilayah telaga, kedua matanya menyusuri sekitar sampai menangkap sosok yang dicari. “Hei!” Fadril meneriaki gadis yang baru turun dari jalan menuju telaga, terkejut dan menoleh ke Fadril.
"Kenapa kamu terus-terusan pergi ke telaga tengah hutan sana? Ada apa disana sebenarnya? Padahal telaga itu dijauhi warga lho.”
Gadis itu hanya menggeleng dengan wajah sedikit takut, “hei… Aku tidak akan memangsamu kok! Aku hanya ingin bertanya…” Fadril mulai mendekatinya dan ia perlahan mundur. Ancang-ancang gadis itu berlari, Fadril dengan kecepatannya mampu menarik tangan gadis tersebut. Cengkramannya kuat, ah ini memang manusia. Gadis itu hanya mematung, wajahnya berbalik dibalik rambut hitamnya yang menjuntai panjang. Suara deru nafas gadis itu terdengar kesal namun hanya pasrah. Ada sekian menit berlalu dengan kecanggungan luar biasa, “Hei… Kau bisa bantu aku?” Fadril mulai keringat dingin, “H..Halo?”
"Namaku Idah.” Gadis itu membuka suara, Fadril terbelalak “Hei, sini tatap aku. Kamu ingin kita kenalan?” Idah berbaik badan. Di balik gelap-terang Sandikala, wajah Idah berhasil membuat Fadril terbelalak terkejut, jantungnya mulai memberikan irama aneh. Wajah Idah juga apa bedanya dengan Fadril. Mereka memandangi satu sama lain sebelum akhirnya Fadril menyadarkan diri. “N-Namaku Fadril.” Fadril tidak mendapatkan jawabannya hari itu, justru Fadril merasakan rasa aneh, ia langsung pulang setelahnya meninggalkan Idah.
Esok hari menjadi hari itu. Fadril mulai memantapkan misinya lagi, mungkin Idah harus didekati sebelum ia dapat mengetahui sebuah informasi. Menurut Fadril, Idah hanyalah gadis biasa, cantik, sayangnya pendiam dan penuh misteri. Hari-hari ia jalani hanyalah menyapa Idah dari jauh, terkadang mendekatinya ketika tidak ada warga yang melihatnya. Mereka terkadang berbicara singkat sebelum Idah selalu meninggalkannya dengan wajah panik. Entah ada apa, meski Fadril mulai menaruh hati dengannya, ia tidak pernah lupa dengan tujuannya hingga suatu hari.
"Ayolah Idah, kali ini jawablah pertanyaanku, mengapa kamu terus-menerus ke telaga sana? Atau memang itu telaga milikmu?” Fadril ikut menghentikan langkahnya ketika Idah mengerem langkah kakinya. Idah menoleh ke belakang untuk menatap Fadril, menaikkan kedua bahunya dan menggeleng, berekspresi bak tidak tahu apa apa. Fadril mengerutkan alisnya, rasanya cukup muak “Maksudmu gimana sih? Kenapa setiap aku tanya kamu selalu menghindar? Apa yang ada di telaga itu? Kenapa kamu selalu kesana? Kamu juru kuncinya kah? Sampai-sampai para warga enggan kesana. Telaga itu indah? Atau ada apa disana? Ada apa-”
"Jangan pernah kesana, menatap air telaga itu.” Idah menjawab dengan datar, wajahnya terlihat cukup sedih. Kedua bola mata Fadril terbelalak “Kenapa?” gadis itu hanya menggeleng. “Aku mohon jangan, sampai jumpa lagi.” Idah langsung berlari menuju desanya, meninggalkan Fadril yang mematung. Malam itu, Fadril sama sekali tidak bisa tidur. Satu sisi memikirkan apakah kisah asmaranya akan berjalan meski Idah seperti ingin menjauhinya? Sisi lainnya, ia rasa, telah menemukan beberapa puzzle misteri.
Bukan Fadril namanya bila tidak bergerak, Fadril mulai menyusun rencara dan menjalankan aksinya. Idah di malam hari biasanya tidak pernah di sekitar telaga, saat itulah ia mulai berangkat. Memang benar, telaga itu tersembunyi, dan Fadril sempat bengong karena sebuah telaga. Cantik sekali, airnya biru bening, angin dingin menusuk Fadril tak dihiraukan, inilah kali pertama ia benar-benar dekat dengan telaga. Fadril berjalan perlahan di pinggir telaga, menikmati euforia alam yang menenangkan pikirannya. Fadril heran sekali, namun tetap menikmatinya. Ketika netranya menuju air telaga, pikirannya tiba-tiba terlintas, ingin sekali ia memastikan kedalamannya, bercermin diatasnya. Awalnya Fadril bersikeras untuk melawan pikirannya karena teringat kata Idah. Kemari saja sudah merupakan sebuah gebrakan. Fadril akhirnya bengong, menatap kosong sekitarnya, gelap, vokal tomcat diganti oleh jangkrik. Airnya bercahaya karena bulan purnama bercermin di permukaan. Fadril kembali berpikir, bukankah bulan saja aman bercermin di permukaan telaga ini, mengapa ia tidak? Fadril merasakan ada pencerahan.
Fadril menelan ludah, meski sedikit takut, mencoba meyakinkan dirinya. Pelan-pelan ia menatap air telaga itu. “Ah jangan!” Fadril terkaget sendiri, sebelum akhirnya ia memberanikan diri menatap langsung telaga itu. Ia berkedip sejenak, karena tiap ruas kelopak matanya ditusuk kesegaran yang luar biasa. Wajahnya membias diatas air, terkagum. “Kenapa damai sekali ya?” gumamnya sembari tersenyum, tidak ada apa-apa disini, dan ada kehidupan di air ini “Ga ada apa tuh, malah tenang sekali,” matanya tiada hentinya menyusuri air. Bagi Fadril, telaga ini bak menyerap seluruh kesedihan yang ada di dalam dirinya. Selama ini, Fadril hanya ingin digubris apa saja pertanyaan yang terlintas, bukan makian yang seharusnya ia terima. Tapi telaga ini, memberikan jawaban untuknya, meskipun telaga tidak akan bisa berbicara. Sekarang Fadril mulai berpikir kembali, apakah Idah memiliki beban pikiran yang kusut, namun ketika ia pergi ke telaga ini seakan-akan tidak pernah lepas? Jika memang seperti itu, Fadril tidak masalah, justru bersyukur menemukan telaga ini untuk sekadar bengong melepas pikiran.
Warna air tidak mungkin berwarna yang melawan warna alam sekitarnya, kecuali ditambahkan, warna merah contohnya. Tidak lama Fadril heran, mengapa airnya tiba-tiba berwarna merah, dadanya merasakan sakit bak ditekan paksa oleh sesuatu yang tajam, mulutnya mulai mengeluarkan darah. Seketika semua menggelap, memori masa lampaunya mulai berputar sampai di akhir ia bisa mendengar lagi kata-kata Idah, jangan pernah datang, atau menatap air telaga. Terakhir kali, rasanya, seluruh tubuhnya masuk ke dalam air.
Ketika pagi menyingsing, hangatnya matahari seakan-akan menjadi pengap luar biasa di atmosfer Desa Jirah, karena Fadril menghilang. Warga sangat yakin, bahwa Fadril pasti di telaga setelah sekian lama mencari. Warga sudah muak dengan telaga. Apa salah mereka sampai mereka terus menjadi teror.
* * *
Idah menatap kosong mayat yang ada di tengah telaga, lalu menghampirinya. “Aku sudah bilang, kamu bebal sekali ya?” Idah mengutuk dirinya yang membuka mulut untuk pertanyaan Fadril, dan ternyata memancing Fadril ke telaga. Idah mengangkat tubuh dingin Fadril dan membawanya ke dalam pelukan. Mata Idah terus mengucurkan air, bola matanya yang gelap tiada henti melirik wajah Fadril yang tidur tanpa nafas.
“Lagi-lagi telaga ini memakan korban anak polos” gumam Idah.
Ia begitu geram dengan dirinya sendiri. Sebenarnya sudah lama ia mengintai Fadril tanpa disadari sang empu. Idah sengaja menjadi juru kunci dadakan di telaga, bermaksud agar bukan Fadril sasaran kekejian iri dengki desanya. Namun ia sama sekali tidak bisa mengelak. Kehidupan Idah selalu dihantui oleh keji, tidak bisa lepas. Melihat Fadril membuat hatinya terhibur meski sejenak.
Erat peluknya adalah tanda, bahwa ia sangat menyesali segala hal yang telah diperbuat. Idah lelah, dan akhirnya ikut serta mewarnai telaga menjadi warna merah. Idah yakin sekali, bahwa Fadril tidak tahu, bahwa desa mereka adalah desa konflik. Semua sudah terlambat. Telaga yang indah, menyimpan lara mereka akibat kekejaman konflik yang melatarbelakangi mereka, menghalangi kisah mereka yang baru mulai. Sejak kejadian itu, antar desa semakin gerah, padahal udara sekitar sejuk, telaga tersebut tidak ada lagi yang berani menyentuh.