Judul : Tilik
Sutradara : Wahyu Agung Prasetyo
Penulis : Bagus Sumartono
Produser : Elena Rosmeisara
Produksi : Ravacana Film
Pemain : Siti Fauziah, Brilliana Desy, Angeline Rizky, Dyah Mulani, Lully Syahkisrani, Hardiansyah Yoga Pratama, Tri Sudarsono, Gotrek, Ratna Indriastusti, Stephanus Wahyu Gumilar
Durasi : 32 menit
Genre : Drama, sosial, fiksi
Tahun Rilis : 2018
Kehidupan sosial memang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Budaya gotong royong dan jenguk menjenguk seakan sudah menjadi jiwa Indonesia. Begitulah yang tersirat dalam alur film “Tilik.” Tilik merupakan istilah bahasa Jawa dari kata menjenguk.
Film drama bergenre fiksi sosial ini pertama kali dipublikasikan dalam kanal youtube Ravacana Film pada tanggal 17 Agustus 2020. Selama dua tahun mengudara di dunia perfilman, Tilik telah meraih beberapa prestasi kancah internasional dan nasional. Winner Piala Maya 2018, Film Pendek Terpilih Official Selection Jogja, Netpac Asian Film Festival 2018, dan Official Selection World Cinema Amsterdam 2019 telah dianugerahkan pada film pendek ini.
Kisah sosial kemasyarakatan membuka petualangan Bu Tejo, dan para ibu rumah tangga lainnya dalam perjalanan mereka menjenguk (tilik) Ibu Lurah di rumah sakit. Bersuasana menumpangi sebuah truk, beragam pembicaraan ngalor ngidul (ngutara nyelatan -red) terlontar dari bibir para ibu rumah tangga itu, menemani sepanjang perjalanan mereka.
Tak terkecuali obroan kabar burung yang beredar terkait hubungan percintaan antara Dian dan Fikri. Dian merupakan gadis kembang desa yang hangat dibicarakan oleh warga desa. Banyak warga desa yang mempertanyakan dan menggunjing status lajang Dian, meski banyak laki-laki yang tertarik padanya.
Topik ini nyatanya menarik perhatian Bu Tejo yang tak henti-hentinya mengutarakan pendapatnya akan status sosial perempuan zaman sekarang, layaknya permasalahan Dian. Pendapat demi pendapat terus dilontarkan sehingga pembicaraan tersebut tak pernah padam di perjalanan mereka. Hingga mereka tiba di parkiran sebuah rumah sakit yang diinapi oleh Bu Lurah. Disana mereka dihampiri oleh Dian dan Fikri. Lantas, bagaimana kebenaran kabar gosip yang mengelilingi Dian dan Fikri?
Film berbahasa Jawa ini mengajak penonton untuk merasakan kehidupan sosial masyarakat sebenarnya dengan mencuatnya pembicaraan gosip yang beredar di kalangan warga Desa. Pengambilan topik dan pemilihan bahasa yang erat dengan kehidupan masyarakat ini mampu menarik perhatian penonton untuk menyelesaikan film ini hingga durasi berakhir. Tak ayal jika film berhasil memainkan emosi para penontonnya. Seakan penonton berada di antara kumpulan ibu-ibu rumah tangga yang tengah membicarakan kabar burung di masyarakat. Hal ini tentu disebabkan oleh keberhasilan akting dari para pemain dalam mengambil karakter peran masing-masing.
Menariknya lagi, keberadaan budaya tradisional di Indonesia juga diulas dalam film ini. Sebagaimana budaya jenguk menjenguk tetap lestari di masyarakat Indonesia, khususnya warga desa. Kesan menarik dari film ini juga tersurat dari pemilihan bahasa yang berusaha menggunakan bahasa Jawa sehari-hari. Meski menggunakan bahasa Jawa, penonton akan tetap mudah mengerti makna film ini. Sebab film ini menyediakan dua pilihan bahasa terjemahan lainnya, yaitu dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dan bukan tidak mungkin apabila berhasil terjebak dalam alur film ini, mereka akan mengeluarkan emosi yang diharapkan oleh sang penulis. Terlebih bila para penonton mampu memahami makna alur yang diulas dalam film ini.
Bak pepatah, tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan film drama ini. Film Tilik masih memiliki kekurangan dalam segi sinematografi, dimana ada beberapa klip yang kurang memperhatikan teknik pengambilan gambar. Sehingga sedikit menghilangkan makna topik yang tengah dibicarakan para tokoh. Selain itu, kekurangan film ini juga terletak pada alurnya yang sedikit lambat. Alur yang lambat dalam film ini akan membuat penonton untuk merasa bosan dan memilih untuk tidak menyelesaikan film ini.
Meski begitu, kekurangan ini mampu tertutupi oleh kelebihan yang tersirat dalam film ini. Terutama mengenai persepsi lintas generasi para perempuan Indonesia yang selalu terjebak dalam sosial kemasyarakatan di kehidupan sebenarnya. “Anak cewek baru kerja, tapi kok uangnya udah banyak? Kan jadi pertanyaan kalau kaya gitu,” tangkas Bu Tejo (3:20). (mcy)