Bali, pulau indah ini pun harus menderita dilanda pandemi berbulan-bulan lamanya. Sama halnya seperti daerah lain di Indonesia, Covid-19 juga merebak di pulau dewata. Lantas bagaimanakah nasib tradisi dan budaya Bali? Akankah meredup juga?
Kamis (10/9) hingga Jumat (11/9) lalu merupakan salah satu runtutan hari raya bagi umat Hindu di Bali. Diawali dengan hari raya Sugihan Jawa yang jatuh setiap hari Kamis (Wraspati) Wage wuku Sungsang, dan dilanjutkan Sugihan Bali pada hari Jumat (Sukra) Kliwon. Menurut I Ngurah Sedewa Sudiarsa (38), yang berprofesi sebagai guru Agama Hindu, Hari sugi-sugian merupakan hari persiapan sebelum menyambut hari raya suci Galungan dan Kuningan. “Hari suci sugian memiliki tahapan-tahapan. Hari sugian itu mengandung makna penyucian. Itu dapat ditarik dari kosakata sugian. Kata sugi yang diartikan bersih dan suci. Sedangkan suku kata ian artinya ada atau diadakan. Mendapat akhiran -an menjadilah Bahasa Bali Kepara dan menjadi kata sugian yang artinya dibuat supaya suci atau disucikan,” tutur Ngurah Sedewa. Sedewa Sudiarsa menambahkan, “Sebelum hari raya Sugihan Jawa dan Sugihan Bali ada hari sugian yang mendahului yaitu pada hari Rabu Pon Wuku Sungsang itu kita harus melaksanakan hari suci sugihan tengteng.” Umumnya, pada hari raya seperti Sugihan Jawa dan Sugihan Bali ini umat Hindu akan merayakannya dengan beribadah ke pura. Namun dengan keadaan ini, umat Hindu di Bali tentu punya kiat tersendiri untuk tetap merayakannya.
“Sugihan kali ini saya lebih memaknai kebersamaan dalam keluarga walau new normal tapi masih tetap waspada jadi hanya dirumah dan di pura tetap dengan protokol kesehatan,” ucap Desak Nyoman Agung Wulan Rosmithasari (28). Hal senada pun dilontarkan oleh I Gede Ngurah Arya Wira Putra (17). “Saya dan keluarga hanya merayakan bersama keluarga kecil saja dan melakukan upacara sederhana namun tidak berkurang maknanya,” jelasnya. Arya menambahkan, kebetulan keluarganya juga melaksanakan piodalan di merajan pada hari Sugihan Jawa. Ngurah Sedewa menjelaskan, “Jadi yang dilaksanakan pada Sugihan Jawa kita hanya melakukan upacara merebu dengan pemrayascita ke areal rumah kita itu sudah cukup, dengan menghaturkan pejati di sanggah kemulan. Begitu juga dengan Sugihan Bali kita menghaturkan pejati di sanggah kemulan secara sederhana dan berisi tambahan dengna menghaturkan bungkak nyuh gading sebagai ngelungsur panglukatan pada Sang Hyang Tiga Wisesa untuk kita gunakan ngelukat anggota keluarga kita yang ada dirumah,”
Meskipun kebanyakan hanya merayakannya dengan keluarga, tetapi masyarakat tetap menerapkan protokol kesehatan. “Oh untuk protokol kesehatan, saya menyediakan tempat cuci tangan di luar merajan dan tetap memakai masker,” aku Arya. Wulan Rosmithasari pun mengungkapkan hal yang sama, bahwa selama perayaan ia selalu menggunakan masker, hand sanitizer, dan mencuci tangan setelah beraktivitas. Dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan, masyarakat harus tetap bisa merayakan hari raya ini layaknya biasa. Tetapi tetap saja, dibandingkan dengan 6 bulan yang lalu, perayaan kali ini tentu menjadi sesuatu yang berbeda. “Ada banyak perubahan. Kalau dulu ramai-ramai benar-benar antusias, namun yang sekarang lebih sepi dan apa adanyaa,” kata Wulan Rosmithasari. Meski begitu, tetap kita harus bersyukur akan keadaan sekarang. “Dalam hal ini kita juga sama-sama berdoa dengan melaksanakan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali kita sambil mendoakan semoga pandemi ini bisa cepat berlalu dan kehidupan di alam semesta ini bisa normal kembali,” tutup Ngurah Sedewa. (mo/scy)