Berbagai sektor perlahan kehabisan napas. Kebijakan pemerintah terkait persyaratan perjalanan dalam masa adaptasi kebiasaan baru dikeluarkan bak pahlawan. Walau tak dapat dipungkiri kesehatan anak- anak boleh jadi terancam sebab kebijakan diberlakukan kala COVID-19 masih tangguh menyerang.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait kriteria dan persyaratan perjalanan dalam masa adaptasi kebiasaan baru pada beberapa waktu yang lalu. Segala kriterianya dipaparkan secara jelas dalam surat edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) COVID-19 Nomor 9 Tahun 2020. Ibarat dua sisi mata pisau, munculnya kebijakan tersebut membawa pengaruh-pengaruh yang saling bertolak belakang. Seperti halnya yang diungkapkan I Putu Agus Ananda Giri Putra (17), dirinya sadar betul kebijakan yang diambil pemerintah dapat mengancam kesehatan anak-anak. “Sangat penting memang untuk mempercepat penanggulangan penyebaran virus COVID-19, seperti pembatasan kegiatan masyarakat. Namun, di sisi lain kita juga tidak bisa menolak bahwa besar dampak pandemi ini terhadap mobilitas kehidupan khususnya secara ekonomi,” ungkap Ananda Giri.
Kendati demikian, kebijakan yang diambil pemerintah belum dapat dikatakan sangat tepat sebab sesuai data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) hingga Senin (10/8), sebanyak 3.928 anak terkonfirmasi positif COVID-19. Dimana dari data tersebut tercatat mayoritas yang terjangkit ialah anak di bawah usia satu tahun yakni berjumlah 42%. Berikutnya, 24% merupakan anak usia 1-5 tahun, 14% anak usia 6-9 tahun serta sisanya sebanyak 20% merupakan anak usia 10-18 tahun. Ditambah lagi, Indonesia telah mencatat 59 kasus kematian anak karena virus Sars-CoV-2. Selain itu, data IDAI juga menunjukkan setidaknya terdapat 318 kasus kematian dari 11.708 kasus pada anak dengan suspek COVID-19. dr. Ni Komang Mila Astuti (30) juga mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki persentase tertinggi untuk kematian anak-anak terjangkit COVID-19 di dunia. Bayangkan saja, menurut data kementrian kesehatan Indonesia sampai Minggu (2/8) lalu kematian anak usia 0 hingga 5 tahun meningkat menjadi 1%. Serupa dengan persentase kematian anak usia 6 hingga 17 tahun yang telah mencapai angka 0,9%. “Sedangkan negara tetangga kita yaitu Malaysia, Singapura, dan Thailand tidak ada melaporkan kematian anak dengan COVID-19. Makanya kita di blame,” kata dr. Mila Astuti miris.
Tak hanya itu, hasil penelitian Massachussetts General Hospital (MGH) dan Mass General Hospital for Children (MGHfC) menunjukkan bahwa anak-anak yang terinfeksi COVID-19 bahkan tanpa memiliki gejala sama sekali, memiliki viral load atau tingkat virus yang jauh lebih banyak dibanding dengan orang dewasa yang dirawat di rumah sakit. DR. Dr. I Gusti Lanang Sidiartha, Sp.A(K) (58) ketua IDAI Bali juga mengungkapkan hal yang serupa. “Daya tahan tubuh anak-anak lebih rendah dibandingkan dewasa sehingga kemungkinan virus lebih besar bisa berkembang biak dan menularkan ke orang lain,” kata Lanang Sidiartha. Maka dari itu, antisipasi penyebaran virus Sars-CoV-2 pada anak sangat diperlukan. “Pertama pakai masker yang benar, kecuali anak dibawah 2 tahun pakai face shield. Kedua hindari kerumunan orang banyak, usahakan anak tetap di rumah sampai situasi COVID-19 menurun, kecuali kalau berobat atau keperluan imunisasi. Lakukan perilaku hidup sehat, misalnya sering cuci tangan, makanan bergizi, dan olahraga teratur,” papar Lanang Sidiartha.
Sementara itu, kondisi di Kota Denpasar belum cukup aman untuk mengantisipasi terjangkitnya COVID-19 pada anak. Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Denpasar, I Dewa Gede Rai (52) mengungkapkan “Perkembangan data COVID-19 setelah dibukanya akses perjalanan keluar masuk daerah cenderung fluktuatif”. Kendati begitu, menurut Dewa Rai jumlah anak usia 0-17 tahun yang terjangkit COVID-19 di Denpasar tak mengalami penambahan. Selain itu, “Yang meninggal karena COVID-19 tidak ada yang berusia 0-17 tahun,” ujar Dewa Rai (dyt/dis).