Oleh: Putu Masayu Cahyaning Lestari
Layaknya emas dalam kubangan lumpur, maka begitu pula garis hidup para perempuan Indonesia dalam melintasi berbagai zaman. Dipenuhi dengan semangat dan inovasi tinggi yang kerap terpancar, namun sinarnya masih tersembunyi dan tertutup dengan pancaran sinar lain di sekitarnya. Bak mudi-mudinya yang tergolong milenial memiliki jiwa berani dan sikap kritis. Namun belum tentu memiliki pemikiran yang sama dengan mudi-mudi sebaya mereka puluhan hingga ratusan tahun yang lalu. Perempuan milenial tentu memiliki ide, inovasi, dan semangat tinggi. Namun belum tentu mereka melangkah di cabang jalan yang sama dengan perempuan-perempuan lintas generasi. Pasalnya meski arah dan kecepatan langkah mereka berbeda, namun tujuan akhirnya adalah satu. Menembus batas hingga mengubur kembali stigma perempuan Indonesia.
Mungkin inilah garis hidup perempuan Indonesia. Selalu, dan entah sampai kapan, hidupnya diguncang oleh terpaan angin dari lingkungannya. Dari stigma-stigma lingkungan yang semakin kuat mengakar meski melintasi berbagai generasi. Penyimpangan kesetaraan hak atas gender, yang kerap tumpang tindih antara satu dengan lainnya. Hingga lekat namanya diselipi oleh kata ‘katanya.’ Ah, perempuan Indonesia memang seperti itu. Sedikit saja mampu bangkit dari titik terendahnya, detik kemudiannya jiwanya akan dipenuhi oleh keraguan akibat adanya gangguan stigma. Alih-alih bangkit kembali, perempuan Indonesia justru ikut kembali jatuh ke dalam jurang stigma itu. Seiring berjalannya waktu, mereka akan kehabisan kesempatan untuk mengisi diri mereka. Mereka akan kehabisan waktu untuk keluar dari kurungan stigma di sekitarnya.
Mungkin inilah dampak dari penyimpangan kesetaraan hak di negeri ini, yang seharusnya semangat emansipasi tak pernah meredup cahayanya. Namun faktanya di lapangan, jumlah anggota yang memiliki semangat emansipasi justru meredup. Mengingat perempuan Indonesia mudah terjebak kembali dalam stigma ‘pengikut.’ Pengikut dalam hal ini adalah terkait stigma terhadap perempuan yang pantas menerima seluruh tindakan dan ucapan yang diberikan orang lain kepadanya.
Tak peduli apakah itu baik atau buruk, sudah sepantasnya para perempuan menerima itu dengan lapang dada. Tak peduli akan sakit atau tidaknya stigma tersebut untuk mereka, mereka tetap tidak bisa berlari menuju arah tujuan mereka. Karena stigma-stigma itu mengubah pandangan perempuan Indonesia menjadi lupa dengan perjalanan garis hidup mereka untuk bertahan, bak sebuah kacang yang lupa akan kulitnya. Karena meski perempuan Indonesia berlari dalam langkahnya, mereka akan tetap kembali ke titik semula dengan segala tenaganya terkuras habis. Namun bila itu garis hidup mereka, maka mereka dapat menentukan pilihan. Pilihannya hanya dua, untuk berjuang atau meredup kembali?
Tentu balasannya hanya satu. Berjuang. Siapa yang tidak ingin memperjuangkan kembali ‘tempat’ yang sudah diperjuangkan oleh pahlawan emansipasi wanita negeri ini. Bila mengutip dari kalimat R.A Kartini, ada sebuah ulasan sederhana yang sedikitnya mampu menggambarkan pemikiran perempuan milenial – masa kini. “Perempuan yang pikirannya telah dicerdaskan, pemandangannya telah diperluas, tak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.” Begitulah kutipannya. Meskipun sederhana, namun makna yang terukir nyatanya sangat dalam.
Sebetulnya, ada benarnya juga kutipan Kartini tersebut. Perempuan-perempuan yang berpendidikan, dalam hal ini dikhususkan kepada para milenial, mereka tidak akan berjalan mengikuti langkah generasi-generasi sebelumnya. Ada masanya mereka akan mencari jalan lain untuk mewujudkan impian mereka. Dan ada pula waktunya bagi mereka untuk merasa langkah yang diambil generasi-generasi sebelumnya adalah salah. Karena tentu saja pemikiran mereka berbeda setelah melintasi berbagai zaman dan problematika. Ide mereka untuk mencapai tujuan ‘menyetarakan hak dan kedudukan gender’ pun akan berbeda.
Pada beberapa waktu, perempuan milenial akan berdiri di kakinya sendiri untuk mencari jalan keluar terbaik atas permasalahanya. Mereka akan berjuang untuk meluruhkan stigma-stigma tersebut dengan capaian dan prestasinya. Karena kaum perempuan bukan lah sebuah objek untuk meletakkan ekspektasi masyarakat. Mereka adalah perempuan-perempuan negeri yang tengah menenun harapan bangsa ini.
Teruntuk perempuan-perempuan di negeri ini, terima kasih sudah menjadi inspirasi yang tak pernah redup, layaknya seorang Kartini. Sebagai kaum perempuan pembawa peradaban, mari merajut asa mewujudkan kesetaraan gender dan menghapuskan stigma yang tertanam dalam nama ‘perempuan’ Indonesia. Selamat Hari Kartini, untuk perempuan-perempuan penenun harapan negeri.