“Nomor 20, 21! Jalan!” perintah pria bertopi mengawali suara deritan rantai sepeda yang berjalan beriringan di tepi jalan. Ada empat perempuan bersepeda diikuti langkah ragu mesin mobil dan sepeda motor yang sibuk dengan kameranya. Sedang apa?
Alunan lembut kicau burung dan gesekan daun yang diterpa angin menjadi saksi awal keberangkatan tim Ekspedisi 2020: Jejak Arkeologi Munduk Juwet di kawasan Desa Pesagi, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan pada Sabtu (18/01). Demi kepentingan eksplorasi materi yang padat dan rute yang cukup panjang, rombongan dibagi menjadi tim eksternal dan internal. Sementara tim internal mengeksplor jejak-jejak Munduk Juwet, maka tim eksternal akan bersepeda lebih panjang di areal luar Munduk Juwet.
Rombongan kecil tim internal akan dikhususkan untuk menjelajah peninggalan arkeologis serta geologis mulai dari kawasan Pura Muncak Arum, Pura Beji Air Panas, serta Pura Luhur Tamba Waras. Ekspedisi internal ini mengikutsertakan 4 pesepeda, 1 mobil pengangkut barang yang memuat 2 orang, serta 1 motor tim dokumentasi yang berisi 2 orang. Semua tampak mulus selepas semua kendaraan beda jenis tersebut berjalan beriringan. Akan tetapi, “Aduh, sadel sepedaku lepas-lepasan,” sungut sang gadis pesepeda di barisan terdepan, Kania. Tanjakan tak landai pun berhasil mencegat langkah sepedanya ketika sadel sepedanya mulai bergejolak tak nyaman. Beruntung setelah dipaksa turun 2 kali, sepedanya berangsur membaik.
Setelah sepeda berhenti merajuk, giliran pula sang sopir mobil yang diserang keraguan. Tak jauh dari lokasi sepeda terakhir bermasalah, guratan cemas terpampang jelas di balik wajah jenaka sang sopir. Jalan turunan curam ditambah ukuran mobil yang terlalu besar dan kondisinya yang tak terlalu baik, membuat mobil urung turun dan berbalik haluan kembali ke basecamp, “Turunannya terlalu curam, takut jatuh kita ke jurang. Ya udah balik pulang dulu ganti bawa motor aja,” tukas sang sopir, Puja.
Perjalanan ke Muncak Arum sebagai destinasi pertama saat itu pun berjalan lancar kemudian. Kendati demikian, medan yang dilalui tak semulus jalan tol Bali Mandara. Sekitar 2 km perjalanan dipenuhi tanjakan dan turunan yang curam serta beberapa ruas jalan yang rusak, berbatu, dan berpasir. Membuat pesepeda mesti turun menggandeng sepeda dengan berjalan kaki. Muncak Sari pun berhasil digapai dengan selamat.
Jika medan menuju Muncak Arum masih bisa dilalui kendaraan bermotor, maka perjalanan menuju Air Panas Beji mesti ditempuh dengan berjalan kaki. Lokasi turunan tangga tak jauh dari Pura Muncak Sari. Hanya saja, lokasi mata air ini berada terpencil di tengah hutan yang dipenuhi tumbuhan liar sehingga satu-satunya akses yang bisa dilalui hanyalah jalan setapak yang sempit. Ditambah lagi jurang-jurang pendek serta sungai yang berbatasan langsung dengan jalan setapak tersebut. “Wah, kayak menelusuri hutan belantara beneran,” ujar semangat Della, sembari kemudian menyenandungkan lagu “MP Cintaku”. Penelusuran Air Panas Beji pun diakhiri dengan menikmati air segar sungai yang ada di depannya. Selepas santap siang, Sasti berharap, “Duh, semoga masih kuat naik sepeda lagi, Tamba Waras lumayan jauh,” harapnya. Akankah masih ada semangat? Atau justru terjebak penat? Mari kita lihat sejauh mana semangat mereka berhasil menahan penat. (ka)