Cyber-bullying telah marak terjadi dalam kurun waktu singkat. Titik fokus masyarakat belum mengacu pada persoalan tentang bagaimana mengurangi persentase dari kasus cyber-bullying tersebut. Posisi pelaku dan korban bak roda yang terus berputar. Masih menanti sosok yang bersedia menekan rem dan menghentikan laju penyalahgunaan media sosial. Pelaku yang kekeh akan sifatnya, besar kemungkinan sulit untuk didekati dan dirubah pola pikirnya. Membuatnya sadar terhadap kekeliruannya membutuhkan waktu dan menyelam ke dalam proses itu akan melalui tahap yang panjang. Kepada sosok korban, tak mungkin berkata 'biarin aja' atau 'jangan dipedulikan'. Nantinya keadaan akan dibalikkan. Luapan emosi korban yang akan terdengar. 'Kamu tidak mengerti situasi yang saya alami', kalimat yang mencuat keluar itu dapat memekikan telinga, menusuk perasaan, dan pada akhirnya berusaha mengerti tekanan yang dirasakan.
Sisi lain dari kasus cyber-bullying ini ialah sosok-sosok 'penonton'. Menyaksikan terjadinya olokan, hinaan, dan cemooh yang dialami seseorang. Mereka diam bukan lantaran senang kawan direndahkan, melainkan terdapat ketakutan dalam benaknya. Takut akan pelaku yang lazimnya berkuasa. Menentang, serangan bertubi-tubi siap dilancarkan. Ingin merangkul si korban, mau tak mau tekanan pun akan sama menghantamnya. Beresiko memang, namun akan sangat berdosa bila melakukan aksi 'bodo amat'. Empati dipertanyakan rimbanya.
Alternatif pengamanan diri, pihak tengah seperti ini tak jarang mengambil langkah 'ikut nimbrug'. Ikut terjerumus sama artinya dengan menjelma sebagai pelaku. Secara tak sadar, tidak sengaja, bermetamorfosis bak kuda hitam yang seketika enggan untuk berhenti. Situasi terjepit memaksa untuk terus lanjut lalu tak diprediksi malah sangat berpengaruh terhadap rekam jejak kasus cyber-bullying.
Harus ada sosok yang berprinsip. Seseorang harus menengahi dan mengatakan ini bukan hutan yang memberlakukan hukum rimba. Keberanian perlu penekanan. Berani melindungi korban, menaklukan akar masalah. Cerdas dan bijaksana dibutuhkan untuk menundukan ego pelaku. Mengalahkan rasa takut demi mewujudkan implementasi norma bertutur kata dan berbahasa yang sesuai pada generasi berikutnya. Tak mesti 'blak-blakan' dalam memerangi aksi cyber-bullying. Langkah halus penuh strategi dan yang terpenting berani merupakan tantangan bagi si penengah. (red)