Karya : Ni Wayan Kusuma Putri
Tuk..Tuk..Tuk
Seseorang berjalan mendekati ruangan dengan pintu hitam yang jaraknya sudah cukup dekat. Semakin lama ia mendekat semakin pula ia merasakan kesunyian di balik pintu ini. PRIVATE ROOM, tulisan yang tertempel di bagian depan pintu ini begitu jelas dan mampu membangkitkan kenangan yang telah dikubur jauh dari pikirannya. Ia menggenggam ganggang pintu dan dalam satu tarikan napas ia berhasil memasuki ruangan yang penuh dengan debu. Tak heran karena ruangan ini sudah tidak dipakai oleh mereka yang ada di sini.
Ia mengambil kotak putih yang berada di atas meja kaca, kotak itu masih terlihat utuh seakan-akan belum pernah dibuka oleh satupun orang. Ia meniup debu di bagian atas kotak dan secara perlahan-lahan ia membuka kotak itu serta mengambil biola yang ada di dalamnya. Ia tersenyum sambil berkata “Lama tidak berjumpa kawan lama ku.” Kawan? Apa maksud perkataannya?
Samar-samar dalam ruangan yang sunyi ini mulai terdengar alunan lagu dari gesekan biola. Begitu lembut namun tegas seperti mengisyaratkan kegembiraan. Tidak, ia memainkannya dengan keras bahkan temponya sangat cepat, semakin cepat hingga nadanya mulai berubah tidak teratur. Ia ingin menunjukkan sesuatu lewat permainannya itu. Tapi apa? Apa yang ingin ia tunjukkan? Awal yang lembut, akhir yang keras. Apa yang sebenarnya terjadi? Tak lama setelah itu..
Brakk… Ia membanting biola nya sangat keras, pecahan biola ada di mana-mana. Tidak hanya sekali, ia membantingnya berulang kali hingga biola itu benar-benar hancur. Amarah yang ada di dalam matanya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Ia terduduk lemas, membungkukkan badannya, dan memeluk kedua kakinya. Ia tidak mampu menahan dirinya. Ego nya terlalu tinggi tuk menangis. Selemah apapun dirinya, ia ingin terlihat kuat di mata semua orang.
Rambutnya yang panjang berhasil menutupi semua wajahnya. Tenggelam dalam rasa penyesalan dan ketidakmampuannya membuat dirinya putus asa. Terlepas dari semua itu, ia tidak mau tinggal lama di ruangan ini. Ia mengeluarkan penselnya dari saku celananya dan segera menelpon seseorang. “Kev, tolong jemput aku. Ku mohon cepatlah kemari!” tanpa menunggu jawaban, ia langsung mematikan ponselnya begitu saja.
Pandangannya kosong dan seketikan pandangannya terhenti, dia menatap sepucuk kertas yang jatuh di lantai. Segera ia ambil kertas itu dan membacanya. Tulisan tangan yang begitu familiar kembali mengungkit luka yang ada di hatinya. Digenggamnya kertas itu, lalu dirobek dan dibuang entah kemana. Emosinya kembali memuncak dan berkata “Maaf kata kau? Apa kau sudah puas menyakiti diriku Dev? Kau meninggalkan aku ketika aku membutuhkanmu dan sekarang kau bahagia bersama wanita lain di atas penderitaanku. Apa maumu?” Tidak ada yang tau apa isi kertas itu, yang pasti tulisan itu mampu merobek luka yang selama ini ia obati dengan susah payah.
Seiring berjalannya waktu terdengar suara pintu terbuka. Laki-laki berparas tampan sedang berdiri di hadapannya. “Celine,” ucap laki-laki itu. Dia berlari dan segera memeluk laki-laki yang tidak lain adalah Kevin. “Aku ingin pulang Kev.” Tangannya gemetar dan pelukannya semakin erat. “Baiklah, ayo kita pulang sekarang dan kau harus berjanji untuk tidak datang kesini lagi. Lupakan dia Cel, masih ada pria lain yang lebih baik dari dia.”Bukannya menjawab dia justru tetap diam dan menarik tangan Kevin tuk segera pergi dari tempat itu. Benar, ini bukan akhir perjalananku.