Oleh : Ni Wayan Kusuma Putri
Aku terlahir dari keluarga yang sangat sederhana akan tetapi kehidupanku jauh berbeda dari apa yang aku harapkan. Orang-orang di sekitarku selalu menggangguku bahkan menghinaku. Setiap hari aku selalu bertanya-tanya alasan dibalik itu semua. Aku memang bukan orang kaya tapi bukan berarti mereka bisa menindasku. Aku tidak selemah yang mereka bayangkan.
Sedari kecil orang tuaku selalu mengajarkan kepadaku apa artinya bersyukur, dan dari situlah aku selalu berusaha menghargai apa yang telah aku miliki dan aku selalu mencoba selalu mengucap syukur meskipun terkadang aku sulit untuk mengatakannya. Berbeda dengan mereka yang sama sekali tidak pernah merasa puas dengan apa yang mereka miliki.
Ketika aku berumur 17 tahun aku yang seharusnya menjadi anak tunggal akhirnya mempunyai adik untungnya saja ibuku melahirkan normal meskipun ketika ibuku melahirkan usianya sudah paruh baya dan memang menurut pandangan dokter sudah sangat rawan melahirkan di usia yang menjelang senja. Adikku sangat cantik, bayi perempuan kulitnya putih kemerahan dan matanya yang masih terkatup belum sanggup tuk melihat dunia. Namun satu tetes air mata berhasil jatuh ke pipiku. Entah apa lagi ujian yang diberikan kepadaku. Aku langsung terduduk lemas ketika dokter mengatakan bahwa adikku terlahir cacat.
Seiring berjalannya waktu adikku tumbuh menjadi balita yang pintar dan sangat menggemaskan. Tubuhnya yang gemuk padat, rambutnya yang pirang dan senyuman yang manis mampu membuat hari-hariku kembali berwarna karena aku tidak merasakan kesepian lagi. Meskipun di awal aku kecewa harus mempunyai adik lagi terlebih ada juga rasa malu karena kondisi ibu sudah sangat kurang pantas untuk memiliki lagi bayi, tapi lama kelamaan aku sangat menikmati peran baru dalam hidupku yaitu menjadi seorang kakak, dan sejak saat itu aku mulai berjanji akan selalu menyayangi dan melindungi adik mungilku nan lucu itu.
Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Kebahagiaan itu perlahan memudar dan menghilang menyisakan luka yang dalam. Aku seperti ingin memberhentikan waktu agar ibu bisa tetap bersamaku. Namun takdir berkata lain, dia merenggut orang-orang yang aku sayangi. Ayah... Ibu...Apa selanjutnya adikku? Betapa lucunya hidup ini. Aku diam, menenggelamkan kepalaku ke dalam kedua tanganku.
Semenjak itu, aku yang bertanggung jawab atas kehidupan adikku. Aku mulai mencari pekerjaan sana sini dan bersyukur bisa diterima di salah satu salon dekat rumahku. Walaupun hidup pas-pas an seperti ini, adikku tidak pernah mengeluh. Aku sadar aku hanya manusia biasa yang terkadang lelah dengan tantanngan hidup yang cukup sulit, aku juga mengalami pelajaran hidup dari pengalamanku aku tak lepas dari masa-masa pencarian jati diri, tapi bersyukur aku memang sempat mengenal dunia anak muda yang suka hura-hura, tapi tak berlangsung lama, karena aku sangat menyadari siapa aku dan apa tujuan aku hidup. Hidup ini tidak abadi apapun yang aku dapat, aku akan tetap mensyukurinya
31 Desember 2020..
Aku menutup buku hitam di tanganku lalu meletakkannya kembali ke dalam rak buku. "Ini sudah lama sekali..." kataku. Aku menghela napas lalu beranjak keluar kamar. "Kak Kei!" Aku berhenti dan tersenyum karena hanya satu orang saja yang memanggilku seperti ini. Dia tidak pernah berubah, dia berlari dan memelukku sangat erat. "Aku kanget banget sama kakak," ucapnya. "Aku juga kangen sama kamu, Nei."
Inilah kehidupan kita. Kita sudah tumbuh semakin dewasa, kita sudah belajar dari masa lalu dan akan selalu seperti itu. Meski ini sulit, aku tidak akan jatuh lagi.