Indonesia, masih menjadi negara yang toleran dalam menggunakan pengobatan tradisional. Pemerintahnya memperbolehkan, hanya saja tak dianjurkan. Minim pengujian juga minim yang melakukan. Terhimpit disaat potensi yang justru merebak.
“Kalau masalah kesehatan itu ranahnya orang medis, jangan ditinggalkan obat konvensional ini, karena itu yang jelas!” ujar Putu Camelia dengan nada yang meninggi (10/9). Ragu, menjadi hal yang dirasakan oleh wanita yang berprofesi sebagai dokter itu tatkala ditanyakan mengenai pengobatan tradisonal. “Selama ini obat tradisonal saya gunakan sebagai obat tambahan, karena tidak ada banyak yang membuktikan secara ilmiah,” tutur Camelia yang juga bekerja di Dinas Kesehatan itu. Menurut Camelia obat konvensional saat ini menjadi yang utama. Sebab, dapat dipertanggung jawabkan, juga teruji secara klinis, dan dipastikan berkhasiat.
Bukan tanpa sebab musabab, sedikitnya kepercayaan obat tradisonal sebagai pelayanan kesehatan yang terjamin dipaparkan olah Made Ary Sarasmita, selaku Dosen Farmasi Universitas Udayana. “Dapat kita katakan masih sedikit, karena prosesnya sangatlah panjang untuk menguji sebuah tanaman dapat bermanfaat menjadi obat dan diterapkan pada manusia,” ujar Ary. Dalam tahap pengujian sebuah obat, Ary menjelaskan ada tiga tahap yang perlu dilaksanakan. “Obat tradisonal menurut pengujiannya dibagi menjadi tiga, Jamu, Obat herbal terstandar, dan yang terakhir adalah fitofarmaka,” tambahnya menjelaskan. Jamu digolongkan sebagai obat-obatan yang sudah terbukti secara empiris, bersifat turun-temurun yang dipercaya selama tiga generasi. Dalam obat herbal berstandar, adalah obat-obatan yang sudah diuji dengan menggunakan standar. “Jadi standar pengemasannya, dosisnya, lalu juga sudah diuji ke hewan, dan yang pling sulit adalah fitofarmaka, karena itu harus diuji secara klinis dan di uji coba penerapannya ke manusia,” tutur Ary. Masih menurut Ary, sebuah pengujian tanaman obat menjadi obat yang sudah teruji klinis, memerlukan waktu yang lama. “Dari 10-20 tahun, bahkan obat yang bersifat fitofarmaka di Indonesia masih hanya belasan, sehingga negara kita masih statusnya toleran, artinya pemakaian obat tradisional diperbolehkan pemerintah, tak tak dianjurkan,” ujarnya.
Proses yang lama, tak diimbangi dengan upaya yang gigih, diakui oleh Camelia. “Pada saat saya menempuh pendidikan dokter, sama sekali tidak ada tentang obat-obatan tradisional, saya hanya mengenal itu secara turun temurun, dari keluarga juga pengalaman,” ungkap Camelia. Hal ini yang juga kemudian mempengaruhi penyediaan obat-obatan di Indonesia. “Apotik di Indonesia tentu berbeda penyediaannya, tapi kami yang namanya apotik jika melihat omzet pasti mencari yang paling dibutuhkan di masyarakat, juga karena resep dari dokter,” kata Ni Luh Putu Vidya Paramita, selaku Sekretaris Apoteker Ikatan Apoteker Indonesia cabang Bali. Vidya yang sebagai apoteker pun meragukan obat tradisonal karena yang meneliti pun sedikit. “Masih belum banyak yang diujikan secara ilmiah, selain itu sebenarnya industri farmasi juga harusnya melakukan riset untuk memiliki izin resmi, mengedarkan obat-obat, dan diabawasi oleh Badan Pengawas Obat,” tutur Vidya. Sangat disayangkan bagi Ary, “karena kita adalah negara kedua di dunia yang memiliki tanaman obat terbanyak setelah Brazil,” ucapnya.
Dalam mewujudkan kesejahteraan umum, obat berbasis sumber daya alam lokal menjadi aset penting bagi negara. Namun kenyataannya, keberadaaan Obat tradisional terpelanting, masih diragukan. Minimnya dukungan, juga minim pengujian. Obat tradisional, oh nasibmu. (gsw)