Libur telah tiba, libur telah tiba, hatiku gembira. Petikan lagu anak-anak berjudul Libur Telah Tiba itu kerap dilantunkan mana kala liburan ada di depan mata. Namun kini liburan akhir tahun ditemani Covid-19, masihkah hati ini bergembira?
Libur panjang akhir tahun selalu menjadi momen yang dinanti. Waktu yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga, teman, maupun kekasih. Apalagi di Bali, bersantai di pesisir pantai menyaksikan pesta kembang api. Tetapi pada liburan panjang akhir tahun 2020 ini tampak berbeda. Bayang-bayang Covid-19 nyatanya masih belum sirna. Bersamaan dengan itu, kabar bahagia vaksinasi di Indonesia terus menyeruak. Menjadi harapan, optimisme, juga boleh jadi jalanan licin yang bikin kedisiplinan masyarakat gampang tergelincir. Belum lagi, masyarakat dihantam dengan gejolak ingin berlibur seusai dibuat pusing dengan karantina selama pandemi. Lalu, akankah libur panjang akhir tahun ini berbuntut kluster baru lagi?
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Tim Madyapadma kepada 100 remaja di Denpasar dengan batasan usia 13-20 tahun, pada tanggal 20-21 Desember 2020. Responden polling terdiri dari 61% perempuan dan 39% laki-laki. Dengan memanfaatkan formulir google menggunakan metode acak sederhana.
Hasil yang diperoleh sebanyak 66% responden mengatakan bahwa libur panjang akhir tahun berpeluang dapat memicu lonjakan kasus Covid-19, Putu Sri Devina Constantia U. (16) salah satunya. “Berpeluang, karena banyak orang yang berpergian untuk merayakan tahun baru. Jadi bisa saja terjadi kenaikan karena mungkin saja banyak masyarakat yang berpergian ini tidak mematuhi protokol kesehatan,” ujar Sri Devina, siswa asal SMAN 7 Denpasar saat diwawancarai via daring oleh tim Madyapadma online pada Minggu (21/12).
Adanya rasa kekhawatirkan peluang lonjakan kasus Covid-19 pada liburan akhir tahun ini sebetulnya juga sudah lama menjadi perbincangan para pemangku kebijakan. Kemudian Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo, Menteri Agama, Fachrul Razi, serta Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah pun berunding terkait jadwal libur akhir tahun.
Tertuang dalam SKB Nomor 744 Tahun 2020 Nomor 05 dan Nomor 06 Tahun 2020 tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 728 Tahun 2019, Nomor 213 Tahun 2019, dan Nomor 01 Tahun 2019 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2020. Bahwa pemerintah sepakat untuk memangkas sebanyak tiga hari dari jadwal libur akhir tahun, yakni tanggal 28 - 30 Desember 2020.
Terkait hal itu, sebanyak 33% responden mengungkapkan keputusan itu telah tepat. “Kalau menurut saya sendiri sangat tepat, karena ini berarti pegawai-pegawai tetap bekerja seperti biasa, jadi mungkin angka penambahan kasus Covid-19 tidak terlalu melonjak drastis. Tetapi peluang meningkat tetap ada, karena siswa sedang dalam masa liburan jadi bisa saja mereka tetap berkumpul dalam rangka tahun baruan atau yang lainnya,” ujar Putu Jyotira Dias (15) siswa dari SMAN 3 Denpasar.
Berbanding terbalik dengan 29% responden yang mengatakan bahwa pengurangan hari libur tersebut tidak tepat. I Made Kaka Andhika Putera (13) salah satunya, siswa dari SMP Dwijendra Denpasar. “Tidak tepat, karena seseorang juga butuh liburan pada waktu yang telah ditetapkan seperti hari libur menjelang tahun baru 2021 namun dengan senantiasa selalu menaati protokol kesehatan yang ada,” tutur Kaka Andhika kecewa.
Berdasarkan data dari Google Trends per September 2020, Bali berhasil menjadi peringkat pertama, dengan perolehan 83% rata-rata pencarian topik seputar travel. Sementara itu, kabupaten yang paling banyak diminati menurut mesin pencarian raksasa itu adalah Gianyar, Tabanan, Karangasem, Badung, dan Buleleng. Padahal, kini tiga dari lima kabupaten itu nyatanya termasuk zona merah. Hal itu dibuktikan dengan data peta risiko Covid-19 di Bali per tanggal 20 Desember 2020. Tertandai sebanyak empat kabupaten yakni Jembrana, Badung, Tabanan, dan Gianyar yang dinyatakan masuk zona merah. Itu berarti sekitar 44% wilayah di Bali memiliki tingkat risiko penyebaran yang sangat tinggi.
Kendati demikian, sebanyak 53% responden mengaku jika Bali masih tetap akan berpeluang dikunjungi banyak wisatawan. Meskipun data sudah bicara kondisi Bali tidak baik-baik saja. “Kemungkinan besar sih masih tetap berpeluang, karena Bali menjadi salah satu destinasi paling diminati oleh kalangan wisatawan luar kota maupun luar negeri. Walau kasus Covid-19 di Bali tidak sedikit tetapi masih saja wisatawan berwisata ke bali dengan alasan bosan karena adanya libur panjang ini,” tutur Ida Ayu Gita Adwitya Arini Buana (16), siswa dari SMK Negeri 3 Denpasar.
Pemerintah Bali pun telah menetapkan kebijakan untuk setiap wisatawan yang akan berkunjung ke Bali wajib melakukan rapid test antigen. Sebanyak 53% responden berpikir bahwa hal itu akan efektif untuk menekan penyebaran Covid-19 nantinya. “Menurut saya sih efektif, karena setidaknya kita masih bisa memastikan kondisi kesehatan wisatawan saat hendak berlibur, sehingga dapat melakukan pencegahan penyebaran virus Covid-19 ini,” ucap Ni Putu Miranda Puteri (16) siswa dari SMAN 3 Denpasar.
Berbeda halnya dengan 13% responden yang mengungkapkan bahwa rapid test antigen tersebut tidak efektif dalam menekan penyebaran Covid-19. “Tidak efektif karena kemungkinan ada orang-orang yang memiliki hasil rapid tes yang palsu atau bisa juga hasil rapid test yang kurang akurat,” ujar I Dewa Gede Wahyu Pramana (15), siswa asal SMAN 7 Denpasar.
Pada akhirnya, kemenangan melawan Covid-19 hanya selalu datang dari diri sendiri. Tepatnya ialah tameng kedisiplinan dan kejujuran setiap pribadi. “Untuk mengurangi penyebaran Covid-19 yang bisa dilakukan satu-satunya adalah selalu menerapkan protokol kesehatan,” pesan Ayu Gita di akhir wawancara. (mta)