Selain suka menggelar banyak upacara adat, orang Bali juga suka diundang dan mengundang banyak orang. Itu sudah jadi satu paket. Ketika Nelu Bulanin (upacara bayi tiga bulanan - red), upacara potong gigi, sampai pernikahan putra-putrinya. Banyak saudara yang berdatangan. Namun, tak terkecuali ketika ada undangan pesta demokrasi di tengah pandemi.
Sekitar bulan Juli lalu, sebagian besar masyarakat Indonesia misuh-misuh mendengar kabar undangan Pilkada 2020. Namun ada yang setuju, ada juga yang malas ikut campur. Lalu kepastian undangan itu pun terjawab dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di ruang rapat Komisi II DPR pada 21 September lalu. Mereka, Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri, Ketua KPU, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP), berunding di situ, Lalu menyepakati Pilkada 2020 tetap digelar pada 9 Desember. Dengan jaminan penegakkan disiplin protokol kesehatan.
Keputusan itu pun terwujud. Pilkada 2020 betulan digelar pada 9 Desember 2020 di 270 daerah dengan rincian sembilan provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. Namun tidak dengan terwujudnya jaminan itu. Nyatanya, pada tanggal 9 Desember, tercatat 1.172 kasus laporan terkait Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang terjangkit COVID-19. Gawatnya, beberapa dikabarkan tetap menjalani tugasnya seperti biasa. Membuka peluang timbulnya kluster Pilkada. Lalu bagaimana dengan Bali yang jadi salah satu lokasi pesta demokrasi. Bagaimanakah persepsi remaja Denpasar terhadap peluang lonjakan Covid-19 di Bali dalam Pilkada 2020?
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Tim Madyapadma kepada 100 remaja di Denpasar dengan batasan usia 13-20 tahun, pada tanggal 13-14 Desember 2020. Responden polling terdiri dari 57% perempuan dan 43% laki-laki. Dengan memanfaatkan formulir google menggunakan metode acak sederhana.
Hasil yang diperoleh, sebanyak 31% responden menyatakan jika TPS yang ada di lingkungan mereka ramai didatangi masyarakat setempat. Ni Kadek Dwita Putri Suastini (17) salah satunya. “Keadaan TPS di lingkungan saya, Kesiman Kertalangu, dapat dikatakan cukup ramai. Tapi penerapan jaga jarak sangat tidak diterapkan. Banyak orang yang seolah-olah nongkrong di TPS. Entah mereka petugas atau bukan, yang jelas berkumpul tanpa jaga jarak bukan hal yang dibenarkan,”tegas Dwita Putri, siswa asal SMAN 3 Denpasar ini saat diwawancarai via online oleh Tim Madyapadma pada Senin (14/12).
Berbanding terbalik dengan 35% responden yang mengatakan bahwa TPS di lingkungan mereka tidak ramai. “Tidak begitu ramai, warga di sana mengikuti protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.” ujar Ni Made Indriyanti Rahayu (17) salah satu siswa asal SMK Negeri 5 Denpasar yang mencoblos di TPS daerah Peguyangan Kangin
Sesuai dengan ketentuan KPU (Komisi Pemilihan Umum), setiap TPS wajib menyediakan tempat cuci tangan, hand sanitizer, sarung tangan plastik untuk pemilih, masker, face shield, tempat sampah, alat pengukur suhu tubuh, sarung tangan medis untuk petugas KPPS, tinta tetes, disinfeksin lokasi pemilih, ruangan khusus bagi pemilih yang bersuhu 37,3 derajat celcius, dan baju hazmat/APD. Melihat hal itu, sebanyak 49% mengungkapkan bahwa TPS di lingkungan mereka sudah memenuhi semua syarat.
Made Dwika Pramana Putra (16) salah satu siswa SMAN 7 Denpasar memberi keterangan terkait kelengkapan TPS di lingkungannya, “Yang saya lihat sebenarnya TPS di lingkungan saya sudah lengkap menyediakan fasilitas sanitasi dan kebersihan dengan cukup baik.” Namun sebanyak 2% responden menyatakan bahwa TPS di lingkungan mereka tergolong belum lengkap dalam memfasilitasi alat sanitasi dan kebersihan.
Terkait keramaian pada saat Pilkada berlangsung, sebanyak 79% remaja mengaku jika orang tua mereka datang ke TPS memenuhi undangan pesta demokrasi itu. Seperti orang tua dari I Made Gede Bramasna Manikan (16) siswa asal SMAN 4 Denpasar. “Kekhawatiran saya terkait orang tua saya saat ke TPS bisa dibilang 50% saja, karena pastinya tempat yang dijadikan sebagai TPS sudah melaksanakan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 sesuai yang telah dianjurkan pemerintah,” tutur Gede Bramasna dengan yakin. Walau demikian, ada juga sebanyak 15% responden yang memilih tidak ikut meramaikan Pilkada 2020. Salah satunya, orang tua dari Bayu Aditya (16), siswa asal SMAN 7 Denpasar. “Orang tua saya tidak datang ke TPS karena saat itu ibu saya memilih untuk pulang kampung,” terang Bayu Aditya.
Undangan Pilkada 2020 sebetulnya memanglah sebuah dilema. Masyarakat yang memutuskan tak datang ke TPS, dengan alasan kekhawatiran penyebaran Covid-19 tentu tak dapat disalahkan. Pasalnya, berdasarkan data yang dirangkum oleh Tim Madyapadma, dua minggu menjelang hari pemilihan, terdapat akumulasi kasus mingguan sebanyak 694 kasus di Bali. Satu minggu kemudian, angka itu kemudian melonjak menjadi 943 kasus. Sehingga dapat disimpulkan meningkat sebanyak 35,9%.
Melihat hal itu, sebanyak 58% responden merespon bahwa Pilkada 2020 dapat berpeluang memicu lonjakan kasus pasien positif Covid-19. Di antara kekhawatiran itu, Syifa Pramitha Dewani (17) salah satunya. “Sangat berpeluang, karena dalam pemilihan tersebut masyarakat saling bertemu dengan satu sama lain. Banyak masyarakat yang berbincang-bincang tanpa memperhatikan protokol kesehatan seperti social distancing. Banyak pula masyarakat yang saling menjabat tangan, tentunya hal itu sangat berisiko terhadap penularan Covid-19 dari satu orang ke yang lainnya,” ucap Syifa Pramitha, siswa asal SMAN 1 Denpasar. (mta)