Ada banyak godaan yang terjadi di tengah pandemi Covid-19. Misalnya, kaum hawa tergoda diskon besar-besaran di situs belanja online. Di sisi lain para pejabat semakin tergoda melahap uang rakyat. Lalu, ada para pelajar yang tergoda belajar tatap muka.
Sebetulnya godaan itu timbul sudah sangat lama. Barangkali semenjak Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di Indonesia baru berjalan dua sampai tiga pekan pertama. Bukan lagi sebuah rahasia jika pendidikan Indonesia tampak gagap mengadaptasi kekuatan teknologi. Alhasil PJJ Indonesia terlihat compang-camping. Sejumlah kritik menumpuk, mengelilingi, seolah membentuk kerumunan massa yang aspirasinya minta didengarkan.
Kemudian, pada 15 Juni 2020 terbit Surat Keputusan Bersama (SKB) Pembelajaran Tahun Ajaran Baru di Masa Pandemi Covid-19, isinya pemerintah mengizinkan pembelajaran tatap muka bagi sekolah yang termasuk zona hijau. Kemudian pada bulan Agustus, pemerintah merevisi SKB tersebut, dengan keputusan mengizinkan pembukaan sekolah di zona hijau dan kuning. Pembaharuan keputusan pun kembali hadir pada 20 November lalu, dengan rencana mengabulkan pembelajaran tatap muka pada Januari 2021 mendatang. Meski begitu kebijakan ini tetap tidak bersifat wajib. Melainkan kembali mengacu pada keputusan dari hasil tinjauan daerah masing-masing. Namun, kali ini zona risiko Covid-19 tak lagi menjadi persyaratannya. Lantas, bagaimanakah persepsi remaja Denpasar mengenai keputusan perencanaan pembelajaran tatap muka?
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Tim Madyapadma kepada 100 remaja di Denpasar dengan batasan usia 13-20 tahun, pada tanggal 29-30 November 2020. Responden polling terdiri dari 60% perempuan dan 40% laki-laki. Dengan memanfaatkan formulir google menggunakan metode acak sederhana.
Hasil yang diperoleh menunjukan 46% responden menyambut rencana pembelajaran tatap muka pada semester genap nanti. 18% lainnya bahkan mengaku sangat setuju. Salah satu dukungan datang dari Ni Komang Ayu Antari (17), salah satu siswa SMK 4 Denpasar. “Menurut saya sih akan lebih kondusif jika pembelajaran dilakukan di sekolah. Contohnya seperti saya ini, saya anak busana, pastinya ada jadwal praktek atau menjahit. Nah jadi kalau tidak belajar di sekolah itu pasti susah juga dan karena kan perlu dibimbing sama guru masing-masing,” ujar Ayu Antari saat diwawancarai via daring, oleh tim Madyapadma pada Senin (30/11).Sementara itu, 20% responden menentang adanya perencanaan tersebut dan selebihnya 13% responden enggan menjawab.
Kendati antusiasme pelajar cukup tinggi, namun tentu ada kriteria yang harus ditinjau oleh setiap daerah terlebih dahulu. Antara lain kondisi risiko peyebaran Covid-19, kesiapan fasilitas layanan kesehatan, akses terhadap pembelajaran dari rumah, kesiapan satuan pendidikan, ketersediaan akses transportasi, dan kondisi geografis daerah.
Terkait hal itu 40% responden memandang Kota Denpasar telah siap melakukan pembalajaran tatap muka. Tetapi, terdapat pula pelajar yang menolak terwujudulnya perencanaan tersebut. Salah satunya, Alvin Caesar Mahendra (16) siswa SMK Saraswati 2 Denpasar. “Menurut saya belum siap, karena angka positif di Denpasar masih terus nambah tiap hari. Terus orang-orangnya juga menurut saya masih kurang mematuhi protokol Covid-19,” tutur Alvin Caesar. Dirinya memandang, ada baiknya bila pemerintah menunggu vaksin disebar untuk seluruh kalangan terlebih dulu serta menanti melandainya grafik positif.
Apabila melihat hasil rangkuman data tim Madyapadma, maka grafik Covid-19 di Bali tergolong meningkat. Dalam rentang waktu 30 Oktober - 26 November, grafik positif Bali mengalami peningkatan sebesar 29,77%. Selain itu, rata-rata kasus harian juga meningkat. Pada pekan I (13 Nov - 19 Nov) rata-rata kasus harian di Bali sebanyak 69 kasus. Angka itu kemudian menggemuk menjadi rata-rata 92 kasus/hari selama pekan II (20 Nov - 26 Nov). Maka, tak heran jika kondisi yang masih mengkhawatirkan ini, membuat 22% responden lainnya satu suara dengan Alvin Caesar.
Bila semisalnya pun daerah mengizinkan pembelajan tatap muka kembali digelar. Masih ada syarat-syarat lainnya yang mesti terpenuhi oleh sekolah. Seperti ketersediaan sarana sanitasi dan tingkat kebersihan, kemudahan akses fasilitas tesehatan, kesiapan penerapan 3M, memiliki pemetaan warga satuan pendidikan, memiliki thermogun serta izin komite sekolah dan orang tua. Dalam hal itu, 40% responden menyatakan sekolah mereka telah siap menempuh pembelajaran tatap muka. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Putu Mirah Wahyu Subagia Putri (16) salah satu siswa SMAN 3 Denpasar. “Menurut saya kesiapan sekolah saya sudah 60% siap untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka. Selama pandemi, saya sempat beberapa kali datang ke sekolah untuk urusan mendesak, dan saya amati sekolah sudah menyediakan fasilitas kesehatan dan sangat memperhatikan kebersihan sekolah,” terang Subagia Putri. Di sisi lain, ada 13% responden yang memandang sekolah belum siap memenuhi sederetan persyaratan tersebut.
Gelora semangat pelajar Denpasar kala menyambut perencanaan pembelajaran tatap muka ini juga dicerminkan pada 46% pendapat yang menilai keputusan pemerintah telah tepat. Apabila dibandingkan dengan memilih megoptimalkan PJJ. 13% lainnya bahkan menjawab sangat tepat. “Saya senang dan sekaligus khawatir, karena jujur saja pembelajaran jarak jauh ini sangat tidak efektif. Banyak sekali materi pelajaran yang tidak dapat dimengerti,” aku Komang Ayu Mirah Kumala Dewi (16), siswa asal SMAN 3 Denpasar.
Perbedaan pendapat pun datang dari 15% suara lainnya. Suara yang menilai kebijakan ini tidaklah tepat dengan kondisi terkini. “Menurut saya kebijakan pemerintah untuk melangsungkan pembelajaran tatap muka kurang tepat. Karena masih banyak daerah yang belum tuntas penanganan Covidnya dan angka penularan Covid-19 masih saja ada yang bertambah. Jika pembelajaran tatap muka tetap dilangsungkan kemungkinan terjadi penularan terhadap murid-murid di sekolah,” tutur I Gusti Ngurah Agung Suastika (17), siswa asal SMAN 1 Denpasar.
Sekolah-sekolah di Singapura, Korea Selatan, dan Prancis pun sudah lebih dulu belajar dari pengalaman pembelajaran tatap muka yang berbuntut lonjakan kasus Covid-19. Terlebih lagi mengingat adanya data IDAI yang menyebutkan tingkat penularan Covid-19 pada anak-anak di Indonesia mencapai angka 7,8%. Ini bahkan jauh lebih tinggi dibanding negara-negara lainnya.
Agung Suastika memberi pesan pada pemerintah untuk tak buru-buru menuruti antusiasme pelajar dalam menyambut pembelajaran tatap muka. Menurutnya, mengejar pengoptimalan kinerja seluruh unsur dalam memberantas Covid-19, seharusnya lebih dulu diprioritaskan, “Ada baiknya tatap muka ditunda sampai zona hijau meluas dan angka penularan dinyatakan relatif rendah,” tegas Agung Suastika.(ek)