Orang Bali punya banyak cara untuk mengucap syukur dan memanjatkan bakti kepada Tuhan. Beragam jenis upacara adat dilakukan. Sesuai dengan waktu tepat yang telah rumit ditentukan. Namun, jika tetap digelar di tengah wabah, terjaminkah doa kesehatan akan dikabulkan?
Beberapa waktu yang lalu, masyarakat Bali cukup lega mendengar grafik Covid-19 di Bali cenderung melandai. Namun, tak lama kemudian kembali lagi melalui tanjakan tinggi. Per tanggal 22 November, terdapat 103 kasus tambahan di Bali dalam waktu sehari. Angka ratusan yang sudah lama tak tercetak, muncul lagi mencipta kecemasan. Penularan Covid-19 melalui kluster rumah tangga dan upacara adat tengah menjadi sorotan utama dalam evaluasi Satuan Tugas Covid-19. Tak dapat dipungkiri memang upacara adat di Bali masih sangat kental. Apalagi mengingat jika Buda Kliwon Pegat Uwakan jatuh pada 21 Oktober lalu
Kitab Gong Besi menyebutkan, sebelum Buda Kliwon Pegat Uwakan aktivitas para dewa di Kahyangan masih terkonsentrasi pada rangkaian upacara Galungan. Setelah Buda Kliwon Pegat Uwakan, barulah umat dapat menggelar upacara keagamaan. Masa itu diyakini sebagai Dewasa Ayu (hari baik - red) menyelenggarakan upacara Manusa Yadnya. Seperti pernikahan dan upacara potong gigi. Lalu bagaimanakah persepsi remaja Denpasar mengenai peningkatan kasus Covid-19 akibat faktor pelaksanaan upacara adat?
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Tim Madyapadma kepada 100 remaja di Denpasar dengan batasan usia 13-20 tahun pada tanggal 22-23 November 2020. Responden polling terdiri dari 76% perempuan dan 24% laki-laki. Dengan memanfaatkan formulir google menggunakan metode acak sederhana.
Hasil yang diperoleh menunjukan, 35% responden menyetujui bahwa upacara adat tetap digelar selama pandemi Covid-19, walau tidak bersifat mendesak sekalipun. Hal ini diungkapkan oleh Ni Luh Ratna Gangga Wati (16) salah satu siswi SMA Negeri 6 Denpasar. “Setuju, dengan syarat protokol kesehatan tetap dilaksanakan,” ujar Ratna Gangga saat diwawancarai via daring pada 22 November 2020. Namun mayoritas responden menjawab sebaliknya, ada 45% remaja yang tidak menyetujui digelarnya upacara adat di masa pandemi Covid-19. Ni Made Sabdha Devhani (16), salah satu di antaranya, menurut “Saya tidak setuju karena menurut saya upacara adat salah satu hal yang amat penting,namun dalam pelaksanaaanya saat kondisi seperti ini bisa dibatasi jumlah orang yang ikut serta dalam proses upacara tersebut,” ujar siswi SMA Negeri 3 Denpasar tersebut.
Mereka yang menentang adanya pelaksanaan upacara adat di tengah pandemi, meyakini jika protokol kesehatan tak mampu dilaksanakan dengan baik selama acara berlangsung. Hal itu tercermin dari 54% suara yang tidak yakin para undangan dapat menerapkan protokol kesehatan dengan baik. Bahkan ada 11% lainnya mengaku sangat tidak yakin. “Menurut saya protokol kesehatan sangat kurang meyakinkan terlaksana di tengah upacara adat, karena di sini kita tidak dapat terlalu mejaga jarak, salah satu contohnya saat kita mengantri untuk ngranjing (masuk - red) ke pura,” ujar I Gede Sulaba Rama (16) salah satu siswa SMAN 3 Denpasar.
Dari pandangan Sulaba, tingkat kedisiplinan orang Bali terkait mematuhi protokol kesehatan masih sangat rendah. Sulaba pun juga menambahkan hal itu terjadi akibat dari kurangnya rasa ingin tahu warga terhadap informasi seputar Covid-19. Hal ini berbanding terbalik dengan 21% remaja yang percaya bahwa protokol kesehatan akan terlaksana dengan baik sesuai prosedur.
Dalam rentang waktu dua pekan setelah tanggal 21 Oktober, jika dihitung berdasarkan data Covid-19 yang dirangkum oleh tim Madyapadma. Maka grafiknya menunjukkan kenaikan kasus harian hingga 31,80%. Adanya peningkatan akhir-akhir ini pun disadari oleh 47% responden Salah satunya Ni Putu Adnya Puspita Dewi (16) salah satu siswi SMAN 3 Denpasar. “Sadar, karena saya selalu memantau perkembangan Covid-19 tiap harinya melalui akun resmi pada platform twitter, juga dapat kita lihat dari banyaknya warga yang sudah mulai beraktivitas kembali di lingkungannya. Hal tersebut pasti akan menyebabkan peningkatan kasus Covid-19,” tutur Adnya Puspita. Walau tersedianya beragam jenis portal informasi seputar Covid-19, namun masih ada 26% reponden yang tidak menyadarinya.
Mayoritas sebanyak 53% responden pun menduga bahwa melonjaknya angka Covid-19 di Bali memang didasari atas melemahnya kedisiplinan masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Ni Luh Putu Tariningsih (17) salah satu siswi SMAN 4 Denpasar. “Banyak orang yang beranggapan bahwa pandemi Covid-19 ini adalah masalah yang sepele. Bahkan ada beberapa orang yang tidak percaya dengan keberadaan virus ini,” aku Tariningsih. Belum lagi perkara jenuh berada di dalam rumah. “Hal inilah yang menyebabkan menurunnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mematuhi protokol kesehatan,” tambah Tariningsih. Mendapat undangan upacara adat pun sebetulnya bukanlah tiket emas mengusir kejenuhan di rumah. Melainkan boleh jadi sebuah jebakan kluster upacara adat. (ek)