Hujan memang bukan tantangan. Apalagi soal harga yang mencekik leher. Sudah biasa. Segalanya siap diterjang, asal tujuan telah didapat.
Begitulah sekiranya keadaan yang menghiasi Selasa Pagi (13/08) di pasar Ketapean Denpasar, Bali. Mulai dari yang tua sampai yang muda, semua bersemangat memborong perlengkapan dalam rangka menyambut datangnya Rahina Kuningan, setelah Rahina Galungan kemarin berakhir. Alhasil, di balik eurofianya, tersimpan sejumlah cerita yang menarik untuk diulas.
Kemeriahan itu ternyata menyisakan keuntungan bagi Putu Widya (40). “Dari menjelang Galungan kemarin, sampai menjelang Kuningan sekarang, pembeli banyak yang borong, dagangan jadi cepet habis,” tutur pedagang kain dan perlengkapan upacara sembari memamerkan senyum sumringahnya.
Bagaimana tidak senang, pendapatan yang biasanya hanya mencapai 2 juta, saat menjelang Galungan dapat mencapai 10 juta perhari. Perlengkapan yang kerap laris terjual biasanya berupa, kain, wastra dan perlengkapan penjor lainnya. “Kain dan wastra harganya beda-beda. Kalau kain biasanya mulai dari Rp. 7.000 sampai Rp. 15.000. Kalau wastra tergantung ukurannya”, paparnya.
Ketut Sri (46), seorang pedagang bunga merasakan hal serupa pula. “Biasanya jual bunga Rp. 5.000, sekarang bisa menjadi Rp. 30.000”, jelas Sri. Sebab, tempat dimana Sri biasa membeli barang dagangan menaikan harga. “Menjelang Galungan gak pernah rugi, barang selalu habis”.
Wajar saja, pada hari-hari biasa, Sri kerap mengalami kerugian. Bunga yang biasa ia jual, tidak habis terjual dan akhirnya membusuk dan terbuang sia-sia. Tidak hanya itu, untung yang didapat juga tidak seberapa, “Kalau bunga, biasanya cuma dapat Rp. 1.000 per kilo”, akunya. Berbanding terbalik 180 derajat, saat menjelang Galungan dan Kuningan.
Sayang, di balik kebahagiaan para pedagang, terdapat pembeli-pembeli yang resah. Selain harga barang yang membumbung tinggi, ketersediaan barang juga menjadi hambatan. Sasih Rusmayanti (40), seorang ibu rumah tangga mengaku, “Ada rasa keberatan sih pasti, tapi yang paling nyebelin banyaknya orang di pasar, jalan susah, dapet barangnya aja udah syukur”.
Dari tahun ke tahun, masalah seperti ini memang terus berlanjut terjadi. Beberapa upaya antisipasi sudah kerap dilakukan masyarakat, namun tetap saja belum optimal. “Biasanya sih sering belanja dari jauh-jauh hari, biar gak kehabisan dan harganya belum terlalu naik. Tapi gak semua barang bisa tahan lama, kayak buah-buahan dan bunga, jadi masih sering kehabisan,” sesal Sasih.
Dalam menangani masalah yang berlarut-larut ini, menurut Agus Agung Adiputra (54), seorang guru Ekonomi SMAN 3 Denpasar, pemerintah sebenarnya sudah menjalankan alternatif seperti mengadakan operasi pasar dan pasar murah untuk membantu masyarakat ekonomi ke bawah. “Di pasar murah, para petani langsung menjual hasil panenya, tanpa perantara pedagang, sehingga harganya bisa lebih murah,” paparnya. Sedangkan dilansir pada www.bibliotika.com, operasi pasar dilakukan oleh pemerintah atau kerja sama pemerintah dengan lembaga usaha, untuk menghindari terjadinya kenaikan harga suatu barang.
Selain itu, masyarakat juga dapat mulai mengatur strategi agar tidak larut ke dalam belenggu harga ini. “Yang dapat dilakukan adalah memprioritaskan hal apa saja yang diperlukan, serta menyesuaikan jumlah barang yang dibeli,” ucap Agung. Harga-harga yang terus melambung ini akan berdampak buruk terhadap tatanan perekonomian masyarakat. “Harga yang naik terus, tapi tidak diimbangi dengan daya masyarakat, akan menimbulkan kerugian, tidak hanya untuk masyarakat sendiri, tapi juga pedagangnya,” tegas Agung.
Sehingga nantinya, esensi euforia Galungan dan Kuningan tidak melulu terbelenggu oleh sekadar carut-marut soal kantong dompet saja. (git)