Berbicara mengenai pertanian di Bali memang takkan ada habisnya. Pertanian adalah salah satu jimat ampuh yang mampu menarik wisatawan mancanegara datang menyambangi Bali.
Sebut saja Ubud dan Jatiluwih. Dengan menyajikan hijau-kuningnya ‘anak Dewi Sri’ yang memikat hati sebagai jurus. Mulai dari hanya berfoto-foto ria, bersepeda, field track, sampai menginap di villa dengan latar pemandangan sawah, semuanya telah diberikan. Namun pernahkan terpikir sebuah momok menakutkan di balik itu semua?
Alih fungsi lahan kini tengah menggerogoti pertanian di Bali. Dalam berita yang diterbitkan oleh Antaranews.com pada tanggal 24 September 2014, luas sawah baku di provinsi Bali adalah 81.500 hektar atau 14,4% dari total luas Pulau Bali. 10 tahun terakhir, laju alih fungsi lahan di Bali adalah sebesar 0,55% atau 400 hektar pertahun. Hal yang mengkhawatirkan adalah ketika laju tersebut semakin meningkat, seiring meroketnya permintaan dalam mengubah fungsi lahan pertanian di Bali menjadi bangunan-bangunan lain yang fungsinya hanya dikelola secara pribadi.
Banyak hal yang melatarbekangi terjadi alih fungsi lahan di Bali. Dari kacamata maraknya investor, membabat padi menjadi jalur track, sampai membangun villa di atas tanah pertanian yang tak berdosa merupakan andilnya dalam mengalihfungsikan lahan. Menunjang pariwisata, katanya. Dalih mengundang turis ke Bali, para investor justru mengambil tanah persawahan untuk membangun berbagai fasilitas bintang lima. Keuntungan yang diterima justru hanya mengalir ke ‘kantongnya’ sendiri. Tanpa mempedulikan kesejahteraan petani, yang mata pencahariannya telah direnggut.
Tak hanya investor, rakyat pun kini jadi tamak. Sawah tak hanya berubah jadi villa, tetapi juga perumahan rakyat. Ini semua terjadi akibat rakyat yang selalu ‘berpangku tangan’, sehingga tak heran banyak sawah yang berujung “For Sale”. Tetapi masyarakat tak sadar dengan apa yang telah diperbuat. Hanya menganggap investor sebagai dalang utama. Semua berjalan begitu saja, tanpa ada rasa iba terhadap malangnya nasib sawah di tanah Dewata.
Fenomena ini hanya akan membuat masyarakat Bali sengsara. Lahan pertanian di Bali merupakan penyambung sendi kehidupan. Lahan pertanian menyempit, tetapi jumlah penduduk justru makin membuncit. Tanpa bertani, rakyat akan makan apa? Petani dan rakyat hanya dapat termenung, melihat ‘kaum berada’ memanjakan diri di atas tanahnya, tanpa pernah ‘mau tahu’ bagaimana perjuangan ‘tuan lamanya’ mempertahankannya. Problematika ini harus dihentikan. Ancaman krisis pangan akan menanti problematika ini tak tertangani.
Moratorium alih fungsi lahan pertanian, itulah solusinya. Wacana moratorium lahan pertanian di Bali telah bergulir sejak dua tahun lalu. Merujuk pada berita Antaranews.com terbitan 24 September 2014, moratorium alih fungsi lahan di Bali sudah diusulkan oleh Menteri Pertanian sejak dua tahun lalu sebagai tindak preventif terhadap meningkatnya laju alih fungsi lahan pertanian di Bali. Hal ini dilakukan untuk memberi jangka waktu kepada pemerintah, agar melakukan zonasi objek pariwisata, perumahan, dan daerah industri agar tidak ‘merongrong’ lahan pertanian di Bali.
Namun hal tersebut sepertinya akan sia-sia saja bila tanpa adanya aksi nyata dari pemerintah dalam melakukan hal tersebut. Contohnya pada berita Tribun Bali terbitan tanggal 9 Maret 2015 ketika mewawancarai Dosen Unud Wayan Windia, bahwa alih fungsi lahan pertanian di Bali kian massif sebagai akibat tidak nyatanya respon pemerintah kabupaten di Bali dalam menindaklanjuti moratorium tersebut. Begitu pula pada berita yang dimuat dalam Gresnews.com terbitan tanggal 10 Desember 2014 ketika mewawancarai Direktur Walhi Bali Suriadi Darmoko, bahwa Bali memang memiliki Perda RTRWP No. 16 Tahun 2009, tetapi tidak pernah terdapat sanksi apabila terdapat pelanggaran tata ruang, khususnya dalam hal pengalihfungsian lahan pertanian.
Oleh karena itu, untuk menanggulangi problematika ini, semua pihak harus sadar terhadap andilnya masing-masing dalam melakukan alih fungsi lahan pertanian di Bali. Investor hendaknya selalu menjunjung tinggi kelestarian lahan pertanian dalam meraup keuntungan. Tak ada salahnya memanfaatkan lahan pertanian sebagai ladang bisnis, selama hal tersebut tidak mengganggu ekosistem sawah di Bali. Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Hendaknya para investor mengikuti aturan yang ada di mana melakukan suatu usaha, sehingga niscaya apa yang diinginkan akan tercapai.
Masyarakat juga perlu mawas diri. Mengalihfungsikan lahan pertanian sebagai areal perumahan tidak sesuai dengan kebudayaan Bali. Sawah dan lahan pertanian berperan dalam menyediakan pangan bagi masyarakat Bali. Di samping itu, selama ini sawah dan lahan pertaniannya senantiasa dipuja dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali sebagai tempat untuk mencari berkah dan menghidupi seluruh sanak keluarga sejak zaman dahulu. Sawah dipercaya merupakan tempat bersemayamnya Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan dalam agama Hindu. Sehingga eksistensi sawah di Bali hendaknya selalu dipertahankan dan dihindari dari alih fungsi lahan. Sangat tidak etis, bila masyarakat Bali justru menghancurkan sawahnya sendiri hanya demi membangun hunian belaka.
Pemerintah juga harusnya sadar. Menjaga lahan pertanian di Bali layaknya menjaga warisan nenek moyang. Harus senantiasa dipelihara dan tidak boleh diserahkan ke pihak yang tidak bertanggungjawab untuk tujuan yang tak jelas. Pemerintah harus tegas dalam menindaklanjuti problematika ini. Sanksi tegas kepada pelaku dan selalu melakukan pengawasan. Langkah ini dilakukan sebagai upaya menyelamatkan lahan pertanian Bali yang kian krisis. Lebih baik bergerak sekarang, daripada tidak sama sekali, bukan? Menunjukkan bahwa sawah Bali hanya milik jatma Bali. Membangun kembali sawah yang tertindas, demi menyongsong kesejahteraan masyarakat Bali. (smy)