Oleh: Putu Masayu Cahyaning Lestari
Bagaikan sebuah pena yang tak pernah habis isinya, begitulah seorang jurnalis dengan segala keberadaan pertanyaannya. Jari jemari seorang jurnalis tak pernah diam untuk menguak kebenaran-kebenaran yang ada. Matanya tak pernah berhenti di satu titik untuk mendalami informasi. Langkah kakinya yang cepat sedikit melambat, sebelum akhirnya berlari kesana kemari. Pikirannya akan setiap saat mengisi ruang kerjanya. Sebab seorang jurnalis harus siaga. Siaga terhadap apapun isu serta kekhawatiran di masyarakat. Siaga terhadap segala kondisi yang akan ia jumpai di lapangan. Dan siap siaga untuk menggali tanah kasar yang menyimpan beribu harta karun di tanah ibu pertiwi ini.
Bila tidak siaga, satu kali saja seorang jurnalis berjalan, maka akan terlambat jurnalis itu mengisi kekosongan di lapangan. Bila satu langkah terhambat, maka seharusnya langkah kedua, ketiga, dan seterusnya, mereka harus mampu berlari. Namun lari bukan untuk berlomba menentukan pemenang yang mempublikasikan informasi pertama kali. Namun mereka berlari untuk sedikit berkompetisi dan saling mengisi untuk menjadi sang penentu. Sang penentu yang mampu mengungkapkan kebenaran di hadapan masyarakat. Satu diantaranya adalah seorang jurnalis sebagai penentu penanggulangan ancaman krisis lingkungan.
Isu ancaman krisis lingkungan sebetulnya bukan topik yang baru di telinga jurnalis. Telinga mereka kerap mendengar isu tersebut. Berbagai langkah dan inovasi pun sudah sering mencuat dari tulisan para jurnalis. Namun lagi-lagi hal itu belum tersebar luas dalam hal mengedukasikan masyarakat. Suara seorang jurnalis sebagai sang penentu seharusnya mampu terdengar lebih besar, layaknya suara para aktivis lingkungan di lapangan. Terlebih seorang jurnalis memiliki jiwa siaga yang siap berlari kapan pun lingkungan membutuhkannya. Lantas apa yang jadi permasalahannya?
Permasalahannya hanya satu. Bagaimana seorang jurnalis mampu membungkus karya-karyanya dalam bentuk yang menarik mata. Bukan sekadar dari judul, tetapi dari isi juga mampu menggugah perasaan. Sebetulnya hal ini kembali lagi ke posisi seorang jurnalis sebagai kalangan pers. Posisi jurnalis seharusnya imbang. Layaknya anjing penjaga, maka seorang jurnalis harus mampu memposisikan dirinya seperti itu. Watchdog, istilahnya.
Kala telinga seorang jurnalis mendengar kabar tidak mengesankan tentang lingkungannya, maka tangan dan mata jurnalis harus siaga untuk memperhatikan kondisi sekitar. Langkah pertamanya adalah mengecek kebenaran dengan sumber yang ada. Bila permasalahannya ancaman krisis lingkungan, maka seorang jurnalis harus mampu melobi fakta dan data yang telah terpublikasikan secara luas.
Langkah keduanya adalah memvalidasi kebenaran dengan terjun di lapangan. Bila informasi terkait ancaman krisis lingkungan belum lengkap, maka seorang jurnalis harus berani untuk terjun langsung ke lapangan. Tugasnya hanya satu, yaitu untuk memperkecil kesenjangan informasi antara pemerintah dan masyarakat. Di lapangan, mereka akan mendekatkan diri hingga berbaur dengan masyarakat. Mereka akan menggali informasi dari segala celah yang ada, selayaknya anjing penjaga. Mereka akan seperti anak kecil yang tertarik mengulas lingkungannya. Beribu pertanyaan akan selalu terlontar dari mulut para jurnalis. Sebab itulah karakter jurnalis yang sebenarnya.
Sembari mengiramakan langkah dengan yang lainnya, seorang jurnalis harus siap dengan langkah ketiga, yaitu menyajikan informasi yang telah mereka gali. Penyajian informasinya harus memiliki nilai jual. Keunikan. Kedalaman narasumber. Dan menyajikan fakta. Namun sebelum informasi-informasi itu disajikan ke masyarakat, seorang jurnalis harus mampu melakukan pengecekan ulang. Sekali dua kali tidak akan cukup. Tetapi perlu berkali-kali hingga informasi yang didapatkan terbukti kebenarannya.
Namun di samping itu, seorang jurnalis juga harus memikirkan tentang bagaimana karya mereka akan disajikan. Bila dalam bentuk tulisan, maka rangkaian kalimatnya harus mampu menggambarkan kondisi lingkungan sebenarnya tanpa menghilangkan sisi humanisme. Bila dalam bentuk film atau video, maka rekamannya harus mampu memvisualisasi sisi humanisme dari banyak pihak atas krisis lingkungan yang terjadi. Bila dalam bentuk gambar, maka gambarnya harus mampu menggugah perasaan kemanusiaan masyarakat.
Sebab seorang jurnalis adalah sang penentu. Sepanjang waktu, mereka akan menggali informasi sembari memvalidasi kebenarannya. Sepanjang waktu pula, langkah mereka akan seirama dan seimbang dengan pemerintah maupun dengan masyarakat. Dan pada akhirnya, solusi sedikit demi sedikit akan terungkap dari karya-karya jurnalis. Sebab mereka adalah sang penentu keberadaan lingkungan di antara tangan masyarakat dan pemerintah.