Oleh : Putu Jyotira Dias
Hati-hati, kini ungkapan mulutmu harimaumu nampaknya mesti berubah jadi jarimu harimaumu. Hanya bermodal ketikan di sosial media, namun dampaknya melukai mental banyak orang. Apalagi generasi Z – generasi yang sejak dini sudah sangat akrab dengan gawai, teknologi, dan internet. Dengan mudahnya berselancar di sosial media yang bak kubangan hitam. Ditambah situasi pandemi. Situasi yang membuat orang-orang harus membatasi kontak fisik. Mau tak mau, berinteraksi melalui sosial media pun menjadi jalan keluar.
Tumbuh bersama teknologi, internet, dan sosial media harusnya selaras dengan edukasi yang didapat oleh mereka si generasi Z. Sayangnya, edukasi bijak bersosial media masih kurang gencar dilakukan. Hal seperti inilah yang seharusnya diselipkan dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Agar sejak dini mereka telah ditanamkan kesadaran akan betapa pentingnya menggunakan sosial media dengan bijak.
Sosial media tentu memiliki sisi ‘hitam’ dan ‘putih’. Mulai dari sisi ‘hitam’. Semua orang berlomba-lomba menunjukkan versi terbaik dirinya di sosial media. Tak mungkin ada yang mengumbar aib sendiri. Jikalau ada, maka orang itu patut dipertanyakan. Alhasil, apa yang kita lihat di sosial media, belum tentu itu kenyataannya. Banyak orang yang tertipu, menimbulkan perasaan tidak aman melihat ‘kelebihan’ orang lain yang diposting di sosial media.
Akibat perasaan tak aman, lontaran ujaran kebencian pun bertebaran. Cyber bullying merajalela. Bersembunyi dibalik nama pengguna ‘anonim’, tanpa pikir panjang mengirim berbagai kata-kata kasar. Padahal sejatinya hal itu merugikan diri pelaku. Sebab berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 45B menyebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”. Ketentuan dalam Pasal ini termasuk juga di dalamnya perundungan di dunia siber (cyber bullying) yang mengandung unsur ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dan mengakibatkan kekerasan fisik, psikis, dan/atau kerugian materiil.
Sisi kelam lainnya yakni beredarnya kabar hoax yang kebenarannya tak dapat dipertanggungjawabkan. Namun sayangnya masih banyak pula orang yang percaya dan turut menyebarkan berita bohong ini. Mengapa? Karena mereka tidak tahu bagaimana penerapan secara bijak bersosial media. Dan hal ini wajib ditekankan. Dapat melalui proses pendidikan yang dienyam selama 12 tahun di sekolah – yang sebenarnya gampang-gampang susah. Karena hal itu berkaitan dengan kurikulum pusat dan perubahannya pun harus melalui serangkaian proses. Akan tetapi, susah bukan berarti tidak mungkin, bukan?
Lantas berkebalikan dengan sisi ‘hitam’, maka sebenarnya masih ada sisi ‘putih’ jika orang-orang menggunakan sosial media dengan bijak. Menyebarkan konten edukatif yang dikemas dengan gaya selera generasi Z misalnya. Seperti video pembelajaran yang kurang dari 15 detik sehingga tak membuat penontonnya bosan. Atau memberikan informasi penerimaan siswa dan mahasiswa baru, seputar sekolah, kuliah, beasiswa, dan lainnya. Bahkan, zaman sekarang terdapat social media marketing. Sosial media dimanfaatkan oleh para pebisnis untuk mempromosikan usaha mereka. Serta yang saat ini juga sedang trend di kalangan anak muda yakni start up – usaha rintisan yang menerapkan teknologi. Tentu sosial media akan sangat dibutuhkan mengingat hampir semua orang menggandrungi sosial media.
Berangkat dari kondisi saat ini, maka sosial media sejatinya dapat berdampak positif apabila dimanfaatkan dengan bijak. Perlu adanya kesadaran dari dalam diri setiap orang. Kesadaran dapat tumbuh melalui pola pikir. Pola pikir dapat terbentuk apabila sudah dibiasakan sejak dini. Dan pendidikan – terutama pendidikan formal di sekolah lah yang mempunyai peran besar dalam membentuk pola pikir. Oleh karena itu, pemerintah pusat juga mesti turun tangan dalam membuat kebijakan maupun kurikulum yang mampu menumbuhkan kesadaran para siswa. Sehingga jika para siswa yang saat ini dominan generasi Z telah memiliki kesadaran dan pola pikir bagaimana seharusnya bersikap dalam sosial media. Maka kini merekalah yang bertugas membuat gebrakan besar. Tunjukkan bahwa generasi Z adalah generasi yang cerdas. Yang tak akan membiarkan ‘jarimu harimaumu’ semakin melukai banyak pihak.