Oleh: Ni Ketut Ayu Fitarini
Setiap manusia yang hidup di dunia ini tentu memerlukan informasi. Baik informasi yang penting bagi khalayak publik atau hanya sekedar informasi untuk kepuasan pribadi. Namun, sering terjadi di kehidupan sehari-hari kekeliruan informasi. Kekeliruan ini dapat berupa pendalaman informasi yang kurang tepat dan kurang jelas. Sehingga untuk memenuhi permintaan publik, maka terciptalah sebuah berita karangan atau bohong yang kini kerap disebut “hoaks”.
Keberadaan berita bohong yang kian merajalela menambah keresahan masyarakat. Khususnya masyarakat Indonesia yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Bahkan berita bohong ini dapat menimbulkan amarah pihak-pihak tertentu atau yang dirugikan. Mengutip dalam newsletter.tempo.co, salah satu kasus hoaks di Indonesia yang memancing emosi sekelompok orang hingga merenggut korban jiwa yakni kerusuhan di Wamena, Jayapura. Kerusuhan ini terjadi akibat cekcok seorang guru dan muridnya.
Kerusuhan ini dimulai dari seorang guru pengganti, Riris Pangabean yang mengatakan “kera” kepada muridnya di Wamena pada 17 September 2019. Padahal guru tersebut mengatakan kata “keras” bukan “kera”. Walaupun kesalahpahaman tersebut sudah terselesaikan dengan mediasi antara pihak sekolah dan siswa, namun pada tanggal 23 September 2019 sekelompok siswa memilih mogok sekolah untuk merusuhi kesalahpahaman Riris. Polisi pun turun tangan dan menembakan gas air mata. Hal tersebut memancing kelompok lain untuk bergabung sehingga memicu kerusuhan dan menimbulkan 33 korban jiwa.
Maka dari itu, keberadaan pers sebagai tuntunan masyarakat harus berdiri tegak dan bergerak layaknya kunang-kunang yang memberi cahaya di tengah suramnya arus berita bohong. Dalam Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, menyebutkan Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Maka dari itu Pers juga perlu meredam hoaks-hoaks yang bertebaran dan lebih inovatif, serta lebih pandai dalam menghadapi arus teknologi. Seperti yang diungkapkan Bapak Presiden Indonesia Joko Widodo di Istana Presiden pada Hari Pers Nasional 9 Februari 2022. Mengutip dalam news.detik.com, Jokowi memberi tiga pesan bagi Pers di Indonesia. Pertama, Jokowi minta pers bisa lebih inovatif. Kedua, Jokowi berpesan industri pers ditata dengan baik. Lalu, ketiga, peran pers dalam menyukseskan acara G20.
Peran pers sebagai sumber informasi dan pemberitaan di Indonesia merupakan sebuah tanggung jawab yang besar. Karena memegang tampuk penting untuk memberi kejelasan terkait sebuah topik atau permasalahan. Khususnya pada situasi pandemi Covid-19 saat ini. Sejak awal-awal virus Corona bermunculan hingga saat ini, tidak menutup munculnya berita-berita bohong. Mengutip dalam kominfo.go.id, pada 12 Februari 2022 terdapat 456 kasus hoaks mengenai vaksin Covid-19 dan tentu persebaran besar ditemukan pada media sosial. 13 Februari 2022 pukul 06.00 WIB, terdapat 457 kasus hoaks yang tersebar dalam platform Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, dan Tiktok dengan total kasus sebaran hoaks 2.644 kasus hoaks.
Pentingnya peran yang diambil sebagai media informasi, edukasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial menyebabkan nilai pemberitaan yang dibuat tidak boleh sembarangan. Sehingga pers harus selalu menaati kode etik jurnalistik sebagai “kendali insan pers”. Mengutip dalam kompas.com, kode etik jurnalistik terdiri dari sebelas pasal. Pasal 1, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pasal 2, wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Pasal 3, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Pasal 4, wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Pasal 5, wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Pasal 6, wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Pasal 7, wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan. Pasal 8, wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Pasal 9, wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Pasal 10, wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, atau pemirsa. Pasal 11, wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Berdasarkan pasal-pasal di atas, peran dan tanggung jawab pers tidak semudah yang dibayangkan. Belum lagi, seorang wartawan merupakan pekerjaan yang sama halnya dengan dokter di tengah pandemi. Sama-sama tidak pernah berhenti bekerja.
Nilai pemberitaan dari pers juga berpengaruh pada kesehatan. Khususnya kesehatan mental yang mengakibatkan kecemasan, respon jantung tidak normal, stress, dan semacamnya. Berita hoaks yang kerap bermunculan dan sekiranya mengganggu mental yaitu berita-berita dengan judul fiktif, sadis, hiperbola, dan tidak pantas. Tak hanya itu, isi berita yang mendiskriminasi kelompok atau beberapa pihak juga dapat merusak kesehatan mental. Bahkan di Bali sendiri kasus hoaks kerap ditemukan. Pada 16 Juli 2021, terdapat 245 akun hoax yang di takedown. Tentu dari berita-berita hoaks, pers Bali harus bersikap tegas dan lebih inovatif dalam penyampaian informasinya.