Oleh: I Gusti Agung Ayu Putri Pradnyaparamita
Jika berbicara mengenai Pulau Bali, tentu pikiran kita akan terlintas mengenai adatnya yang begitu kental hingga kini. Adat budaya dan agama di Bali memang ibarat dua sisi koin yang tidak bisa dipisahkan. Namun di zaman sekarang, tak sedikit masyarakat Bali yang merasa kesulitan dan keberatan dalam memenuhi pelaksanaan upacara adat Bali yang cukup rumit itu. Padatnya kegiatan masyarakat dan keadaan ekonomi bagi sebagian orang merupakan sebagian faktornya. Oleh karena itu, tercetus ide untuk menyederhanakan kegiatan upacara adat tersebut.
Hal ini sebenarnya adalah ide yang cemerlang untuk mengatasi kesulitan ini. Namun tak sedikit masyarakat Bali terutama masyarakat desa dan orang dulu menolak ide ini. Alasannya adalah karena mereka menganggap, Bali itu terkenal dengan adatnya yang rumit dan unik. Jika disederhanakan tidak akan unik lagi.
Kebanyakan masyarakat di desa juga memiliki banyak waktu luang. Karena pekerjaan mereka yang tidak sepadat orang kota. Dengan pemikiran yang berbeda, tidak heran jika mereka menentangnya. Selain itu beberapa orang juga gengsi karena jika upacaranya sederhana akan dianggap kurang mampu dan mendapat cemooh dari orang-orang sekitarnya. Ada pula yang beranggapan bahwa menyederhanakan upacara artinya tidak ikhlas dalam beryadnya. Padahal sejatinya bukan seperti itu. Ditambah penolakan dari para penjual sarana upacara yang tak ingin kehilangan untung.
Jika orang-orang dulu lebih banyak berkebun, bertani, dan beternak, maka tak heran jika persembahan yang mereka haturkan begitu melimpah. Ditambah lagi mereka memiliki waktu luang yang cukup untuk membuat persiapan sarana upacara yang rumit. Tetapi zaman kini telah berubah, baik wanita maupun pria, anak-anak, remaja sampai dewasa memiliki jadwal kesibukan yang begitu padat. Terutama bagi penduduk perkotaan. Sehingga terasa kurang memungkinkan untuk membuat persiapan upacara yang begitu rumit. Tentu membutuhkan waktu, tenaga, juga biaya yang tidak sedikit. Apalagi bagi orang-orang yang keadaan ekonomi kurang.
Contohnya, kita sering melihat upacara seperti ngaben dan pernikahan yang meriah. Lengkap dengan sarana upacaranya yang begitu kompleks. Masyarakat desa dan orang-orang dulu mungkin dapat menyiapkan semua itu dengan cepat dan tepat. Hal itu dikarenakan banyaknya waktu luang, pengetahuan akan upacara yang ada dan budaya gotong royong yang masih kental. Berbeda halnya dengan orang kota yang aktivitasnya padat. Tentu tidak memungkinkan membuat sarana tersebut dalam waktu singkat. Kecuali bagi orang berada yang mampu membeli sarana upacara siap pakai dari pedagang banten. Akan beda halnya dengan orang yang tidak mampu melakukan itu.
Oleh karena itu, penyederhanaan upacara di Bali dapat menjadi jalan keluar bagi perihal ini. Daripada melakukan upacara besar-besaran yang hanya berdasarkan rasa gengsi yang tinggi, tapi ujung-ujungnya harus berutang. Atau hanya sekedar menelan mentah-mentah tradisi lama tanpa perlu tahu maknanya,. Seperti melakukan yadnya kepada alam secara besar-besaran namun belum mampu menjaga kelestarian alam. Agar tidak salah kaprah dan lebih paham, kita dapat melaksanakan upacara yadnya dengan bantuan Parisada Hindu Dharma.
Upacara Yadnya yang lebih sederhana tidak akan mengurangi keikhlasan kita dalam beryadnya. Karena yang terpenting adalah ketulusan hati dan makna dari Yadnya itu tetap terjaga. Akan lebih baik upacara adat itu disederhanakan daripada ditinggal karena ketidakmampuan masyarakatnya. Bali tidak akan kehilangan segala pesonanya hanya karena adatnya lebih sederhana. Karena kita melaksanakan upacara di Bali sejatinya dari hati bukan untuk dikagumi. Beryadnya lah dari hati yang tulus dan ikhlas dan sesuai dengan kemampuan kita.