Oleh: I Gusti Ayu Agung Citra Perama Devhi
Bali dijuluki sebagai Pulau Surga. Surga bagi penduduknya, surga pula bagi wisatawannya. Selagi Bali mampu bereksistensi dengan mempertahankan tradisi, Bali adalah surga. Para pelaku usaha di bidang pariwisata yang paling merasakan sisi surga dari Bali. Jika Bali adalah surga, maka wanita di dalamnya ialah penghuni surga. Wanita Bali cantik-cantik, bak bidadari.
Bali juga terkenal akan seni dan budaya. Para penari Bali acap kali disebut-sebut memiliki taksu, yang mampu memikat wisatawan untuk tidak berpaling dari gemulainya tubuh dan cantiknya paras sang penari. Namun di balik indahnya gerakan yang disuguhkan di hadapan para pelancong, mereka lebih dulu ditempa. Ditempa sedari dini untuk lihai mewariskan tradisi dan budaya Bali.
Sejak belia, sebagian orang tua Hindu Bali akan mendorong putri mereka untuk menyukai tari Bali. “Cewek Bali masa gak bisa nari?” begitu kalimat pembuka dari si orang tua. Anak yang tak punya pilihan mau tak mau tergiring oleh perkataan orang tua. Namun sebagian lainnya, yang sudah mampu melakukan penolakan, akan tetap pada pendiriannya.
Tak dapat dipungkiri, wanita Bali akan terus bergelut pada tarian. Pasalnya, prosesi upacara Hindu di Bali pasti mebutuhkan tari-tarian sebagai salah satu rangkaiannya. Misalnya saja Tari Rejang. Dilansir dari situs resmi Dinas Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Buleleng, Tari Rejang merupakan tarian persembahan suci dalam menyambut kedatangan para dewa yang datang dari khayangan dan turun ke Bumi. Tarian ini berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur dan penghormatan mereka kepada dewa atas berkenannya turun ke Bumi.
Penari Rejang sangat beragam, sebab jenis-jenisnya pun beragam. Rejang Dewa diperuntukkan bagi gadis - gadis yang belum pernah mendapatkan haid /menstruasi. Sehingga para penari Rejang Dewa masih kecil, seumuran dengan anak-anak SD. Ada pula Rejang Sari, ditarikan oleh perempuan yang masih gadis atau belum menikah. Filosofinya sebagai persembahan yang suci. Maka dari itu, Tari Rejang Sari umumnya ditarikan oleh gadis remaja. Tak berhenti sampai di sana, Tari Rejang juga ada yang diperuntukkan bagi ibu-ibu PKK. Rejang Renteng namanya.
Lihat? Wanita Hindu Bali sudah dinantikan menjadi penari sejak dini. Bahkan ketika sudah berumah tangga pun, masih demikian. Mereka yang mulanya terus menolak untuk bergelut dalam seni tari, mau tak mau melunakkan diri sebab tahu bahwa hidupnya akan terus ditempa dengan tari Bali.
Tak ketinggalan, Bali juga dijuluki Pulau Seribu Pura. Umat Hindu di Bali menjadi alasan mengapa pulau ini menyandang gelar demikian. Uniknya, bila kita menapakkan kaki di Pura manapun, tak pernah absen yang namanya banten. Banten ialah sarana upacara, yang merupakan refleksi perwujudan dan ajaran dari bhakti marga dan karma marga. Banten itu sendiri menjadi salah satu bentuk persembahan atau pelayanan yang suci secara tulus dan ikhlas kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dahulu, ketika kehidupan masyarakat Bali sepenuhnya agraris, banten menjadi cerminan utuh keikhlasan manusia Bali. Segala isi banten diambil dari kebun atau sawah sendiri dan dikerjakan dari cucuran keringat sendiri. Hanya sebagian kecil yang dibeli, terutama bahan yang tidak tersedia di kebun atau sawahnya. Namun kini ketika sektor pariwisata berkembang pesat, sudah semakin jarang terdengar bahan baku banten diambil dari hasil kebun dan sawah. Bahkan sudah umum bagi orang Bali saat ini, banten dibeli dari pasar atau tukang banten. Mereka yang melaksanakan upacara tinggal mengeluarkan uang yang cukup, banten apa pun bisa di dapat siap pakai di tempat.
Meski kian terpengaruh perkembangan zaman, namun banyak keluarga yang masih menanamkan dasar-dasar pembuatan banten pada anak gadis mereka. Tak hanya pembuatannya saja, tetapi hingga tata cara menghaturkan banten-banten tersebut. Biasanya diajarkan ketika duduk di bangku SD atau SMP. Memang sedari dini, agar terbiasa dan di luar kepala. Sebab tiap upacara membutuhkan banten yang berbeda, dengan komponen yang berbeda pula. Lagi-lagi, wanita Hindu Bali ditempa sejak dini oleh tradisi.
Tahap Brahmacari memang demikian. Terus menggali dan digali. Menggali ilmu pengetahun, dan menggali potensi diri. Namun jangan mengira bila telah memasuki tahap Grhasta atau berumah tangga, maka proses menggali dan digali itu akan berakhir. Justru pada tahap ini, wanita Hindu Bali kian diuji. Badai dan angin kencang akan menerpa, melemahkan individu ataupun rumah tangga. Pada masa Grhasta, wanita Hindu Bali semakin ditempa dan diterpa.
Terbiasa dimanjakan oleh kedua orang tua ketika gadis. Namun demi menjalankan Yadnya, ratu di keluarga ini harus meninggalkan rumah dan dituntut mandiri di rumah suaminya nanti. Meski belum siap melepas gelar ratunya. Memang disebut Yadnya, sebab menurut pandangan Hindu, pernikahan atau perkawinan ialah yajña (kewajiban suci), karena dengan perkawinan diharapkan akan melahirkan anak suputra. Jika dikaji dari susastra Hindu, maka perkawinan dikenal dengan istilah pawiwahan yang berasal dari kata wiwaha, yang berarti meningkatkan kesucian dan spiritual.
Dalam Agama Hindu, umumnya wanita yang meninggalkan rumah dan tinggal bersama di rumah suami. Kini, mental wanita yang ditempa. Beradaptasi dengan lingkungan baru bukanlah hal yang mudah. Beradaptasi dengan tempat baru, orang baru, dan juga kebiasaan baru. Belum lagi jika elemen-elemen baru ini bertolak belakang dengan kebiasaannya di rumah gadis. Di tambah lagi bila lingkungan baru ini ada yang tak suka padanya tanpa sebab. Ibarat kata, benci pada pandangan pertama.
Bagi wanita Hindu Bali, komentar pedas mertua biasanya muncul bila sang menantu tak cekatan soal banten. “Gak diajarin waktu bajang (gadis) sama orang rumah?” begitu kalimat mertua mengintimidasi ‘anak barunya’. Jika memang belum lihai perihal membuat ataupun menghaturkan banten dan segala tetek bengeknya, bukankah dapat dipelajari bersama mertua nantinya? Pepatah mengatakan tak ada kata terlambat untuk belajar, bukan? Mempelajari soal banten memang tak dapat instan. Apalagi jika mendapat suami dengan sanggah atau mrajan gede. Butuh waktu untuk memahami segala jenis banten yang dibutuhkan di tiap hari raya.
Menjadi wanita Hindu Bali memang sulit. Tak seindah postingan di media sosial yang hanya menampilkan secuil sisi Bali. Orang luar terpukau dengan gemulainya gerakan tari Bali. Terpukau dengan seni dan adat Bali. Juga terpukau dengan wanita Bali yang anggun dalam balutan kebaya dan kamen khas Pulau Dewata. Namun yang lebih memukau daripada itu, ialah mental wanita Bali. Yang tahan untuk terus ditempa dan diterpa.