Oleh : Ni Ketut Ayu Fitarini
Hak asasi manusia (HAM) merupakan sekelompok hak yang dimiliki oleh sesama manusia. Hak asasi manusia bersifat inalienable, yaitu tidak dapat direnggut atau dicabut oleh siapa pun. Pelanggaran hak asasi manusia merupakan perbuatan seseorang atau kelompok termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja dalam mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok.
Menurut tulisan Egidius di Kompas.com, Indonesia memasuki peringkat ke-30 dengan HAM terburuk di seluruh dunia berdasarkan riset perusahaan analisis global Maplecroft dalam Atlas Risiko HAM 2014 (Human Rights Risk Atlas/HRRA). Peringkat ini menjelaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah perihal yang tidak mudah diatasi oleh pemerintah Indonesia.
Bentuk pelanggaran hak asasi manusia kerap terjadi di lingkungan sekitar kita. Salah satunya yang paling umum yaitu di lingkungan sekolah. Dalam tulisan Nafiysul di liputan6.com, pada tahun 2015 Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) melakukan riset yang menunjukkan 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Menurut data pengaduan KPAI Tahun 2015, jumlah anak korban kekerasan sebanyak 127 siswa. Anak menjadi pelaku kekerasan di sekolah 64 siswa. Anak korban tawuran 71 siswa, sementara anak pelaku tawuran 88 siswa.
Beragam bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di sekolah antara lain; mengejek atau mencemooh satu sama lain, tawuran atau berkelahi dengan teman satu sekolah maupun di luar sekolah, memalak teman, dan yang paling sering terjadi yaitu senioritas antara kakak kelas (senior) dengan adik kelas (junior).
Kata senioritas sendiri memang tidak asing di telinga kita. Bahkan istilah dan penerapan "senioritas" sendiri pun sudah mendarah daging. Didampingi dengan pasal-pasal ngawur yang mengatakan: 1.Senior tidak pernah salah, 2. Jika senior salah maka kembali ke pasal 1.
Umum terjadi perilaku senioritas ketika junior sedang melaksanakan masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS). Dimana senior atau kakak kelas mengancam dan membentak junior dengan alasan yang kurang jelas. Sehingga mental dan fisik junior pun menjadi lemah.
Lalu, mengapa senior itu mesti melakukan hal kasar? Kemungkinan alasannya agar junior dapat merasakan hal yang "sama" dengan yang senior rasakan dulu. Embel-embel pembentukan karakter pun hanya menjadi omong belaka yang malahan menghancurkan karakter junior. Adik kelas atau junior yang merasa dendam pun melakukan hal yang sama kepada junior selanjutnya, begitu seterusnya. Maka dari itu, pemutusan rantai "kesenioritasan" ini cukup sulit dilaksanakan karena sudah menjadi hal yang turun temurun.
Melihat kondisi ini, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (PPPA) mengeluarkan Permen-PPPA Nomor 8 Tahun 2014 tentang Kebijakan Sekolah Ramah Anak. Kebijakan Sekolah Ramah Anak dibentuk untuk mencegah tindak kekerasan dan pelanggaran HAM di sekolah. Berbagai pihak pun gencar mensosialisasikan kebijakan Sekolah Ramah Anak. Dinas Pendidikan, Forum anak, perwakilan PPPA, Lembaga Aspirasi, Dinas Sosial, dan masih banyak lagi. Sosialisasi dilaksanakan dari satu sekolah ke sekolah lainnya di Indonesia. Webinar SRA di Denpasar, Bali pun dilakukan untuk mendalami poin penting dari Sekolah Ramah Anak itu sendiri.
Menurut tulisan Rusman dalam jurnal komnasham.go.id, Sekolah Ramah HAM (SR HAM) merupakan pendekatan baru dan berbeda untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM di sekolah. Sekolah Ramah HAM (Human Rights Friendly School) adalah sekolah yang mengutamakan prinsip-prinsip dan poin penting HAM. Serangkaian kegiatan seperti penyuluhan dan sosialisasi SR HAM telah dilakukan Komnas HAM. Mulai tahun 2015 melalui Kepala Sekolah dan guru-guru. Khususnya guru PPKn karena materi pembelajaran yang erat dengan hak asasi manusia.
Menurut tulisan Ratih dalam komnasham.go.id, penyuluh senior Komnas HAM, Rusman Widodo dan Hari Rewanto memaparkan konsep Sekolah Ramah HAM yang telah diinisiasi sejak tahun 2015. Namun, hal ini merupakan informasi baru bagi para guru di MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) 2019 PPKn SMK Kota Bekasi. Sebagai target SR HAM, tidak sedikit guru-guru yang bertanya lebih dalam mengenai apa itu Sekolah Ramah Hak Asasi Manusia. Hal ini menunjukkan bahwa Sekolah Ramah Hak Asasi Manusia (SR HAM) merupakan salah satu upaya yang cukup tertinggal. Walaupun sudah ada sejak tahun 2015, sayangnya guru-guru MGMP tidak tahu sama sekali soal Sekolah Ramah HAM.
Sekolah Ramah Anak dan Sekolah Ramah HAM memiliki tujuan yang hampir sama. Tujuan dari sekolah Ramah Anak ini cukup luas, yaitu mengutamakan keamanan, kebersihan, kesehatan, kepedulian, lingkungan hidup aman, memberikan jaminan keselamatan bersekolah, menghargai hak-hak anak serta melindungi anak dari kekerasan, diskriminasi, bullying, dan tindakan salah lainnya di sekolah.
Sedangkan, cakupan tujuan Sekolah Ramah HAM lebih sempit, yaitu mengurangi pelanggaran HAM di lingkungan sekolah. Latar belakang sekolah Ramah Anak ini juga pun hampir sama dengan sekolah Ramah HAM, yaitu untuk menghilangkan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di sekolah sehingga anak-anak yang bersekolah merasa nyaman dan aman saat belajar.
Sosialisasi dan penyuluhan mengenai Sekolah Ramah Anak dan HAM hingga saat ini memberi pengaruh sedikit bagi keberhasilan Pemerintah memutus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di sekolah. Seperti yang terjadi pada awal bulan 2021 lalu. Kasus dugaan intoleransi terkait pemaksaan penggunaan jilbab bagi siswi nonmuslim di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat (Dewi Nurita dalam Tempo.co, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa sikap diskriminatif, intoleransi, dan pemaksaan yang merupakan bentuk pelanggaran HAM masih ada. Kemungkinan pelanggaran HAM ini sebenarnya biasa terjadi di lingkungan sekolah di Indonesia. Namun, dengan bentuk-bentuk pelanggaran yang lebih beragam lagi.
Sekolah memiliki peran penting bagi generasi muda di seluruh dunia, khususnya Indonesia. Sebagai cerminan dan tolak ukur bagi masyarakat luas, sekolah merupakan kunci untuk mensosialisasikan muda-mudi Indonesia. Pemerintah sudah mengupayakan Sekolah Ramah Anak dan Sekolah Ramah HAM. Untuk membangun peserta didik maupun warga sekolah yang toleransi dan anti-diskriminasi. Kesuksesan serba serbi sekolah ramah ini diharapkan dapat memutus mata rantai pelanggaran HAM di sekolah maupun di seluruh lapisan masyarakat.