Oleh: Putu Jyotira Dias
“Beri saya 10 pemuda, maka aku akan guncangkan dunia.” Begitu kutipan pernyataan yang dilontarkan oleh Bapak Proklamator Indonesia. Tak salah beliau berucap seperti itu. Sebab semangat masih membara dalam jiwa para pemuda. Lihat saja pahlawan-pahlawan kita yang bertempur melawan penjajah dahulu. Sentot Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo misalnya. Yang menjadi panglima tempur Pangeran Diponegoro saat beliau masih berusia 17 tahun. Tak heran bahwa peran pemuda memang sangat penting dalam suatu bangsa. Penting untuk membangun dan membawa berbagai perubahan. Tentunya di masa pandemi Covid-19 ini, peran generasi muda sangat dibutuhkan untuk menciptakan kestabilan di berbagai bidang, salah satunya di bidang sosial politik.
Berbagai kebijakan telah dibuat oleh pemerintah di masa pandemi yang “katanya” untuk membantu masyarakat. Namun nyatanya apa yang terjadi? Menurut tulisan Vitorio Mantaelan di Kompas.com yang berjudul ‘Pemerintah Dinilai Inkonsistensi Hadapi Covid-19’, pakar kebijakan publik dan ekonomi, Ichsanuddin Noorsy, menyatakan bahwa kebijakan yang dirumuskan pemerintah tak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Masalah utamanya adalah tidak konsistennya kebijakan satu sama lain. Inkonsistensi kebijakan tersebut menggambarkan buruknya koordinasi. Salah satu bukti yang disebutkannya yakni dana bantuan sosial yang berantakan. Hal itu dikarenakan akurasi dan aktualisasi lapangan tidak didapatkan.
Tak hanya itu, masih ada permasalahan lainnya. Perkara dana bantuan sosial Covid-19 yang seharusnya disalurkan pada masyarakat. Nyatanya justru dibabat tikus berdasi. Budaya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) nampaknya tak luntur meski pandemi menghadang. Kalau sudah begini, apakah masyarakat mau diam saja? Hanya dapat duduk berpangku tangan tanpa berbuat apa-apa. Membiarkan bangsa ini terombang-ambing. Tentu hal ini tak boleh dibiarkan begitu saja.
Menurut tulisan Ayomi Amindoni di BBC.com yang berjudul ‘UU Cipta Kerja: Demo Warnai Setahun Periode Kedua Jokowi, Bagaimana Nasib Demokrasi Indonesia?’, merujuk survei yang dilakukan Litbang Kompas terhadap 529 responden selama 14-16 Oktober 2020. Sebesar 46,3% responden merasa tidak puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi selama satu tahun terakhir. Sementara 6,2% menyatakan sangat tidak puas.
Di negara demokrasi ini, kita memiliki kebebasan untuk berpendapat. Kini sudah bukan masa orde baru lagi. Kita sudah di era reformasi. Kebebasan berpendapat termasuk menyampaikan kritik merupakan hak setiap warga negara Indonesia yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Melihat kondisi pemerintahan Indonesia saat ini, tak salah bila sekarang para pemuda bergerak untuk mengkritisi pemerintah. Asal kritik tersebut berdasar dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Mengkritik hal-hal yang dirasa tidak benar bahkan hingga merugikan bangsa Indonesia.
Namun sayangnya, masih ada orang-orang yang belum berani memberikan kritik sebab takut terkena jeratan hukum. Lantas bagaimana cara kita sebagai generasi penerus bangsa mengkritik pemerintah dengan benar? Kita perlu menyampaikan kritik yang betul-betul kritik. Bukan hinaan atau pencemaran nama baik berkedok kritik. Jika kritik dilakukan dengan benar, niscaya akan terhindar dari jeratan hukum. Baik kritik bagi para pejabat yang berkuasa, bahkan Jokowi sekalipun. Generasi muda harus melawan apabila oknum-oknum pemerintah justru membungkam kritik. Akan tetapi, sebaliknya kita juga harus mendukung tindakan hukum terhadap mereka yang melanggar hukum dengan dalih mengkritik pemerintah.
Apakah mengkritik pemerintah harus dengan aksi demonstrasi atau unjuk rasa ke gedung DPR? Tentu saja tidak. Demonstrasi hanya salah satu dari sekian cara untuk menyampaikan aspirasi. Sayangnya saat ini aksi unjuk rasa melalui demonstrasi tak jarang disertai dengan aksi-aksi anarkis. Bahkan masih dalam tulisan Ayomi Amindoni di BBC.com disebutkan bahwa berdasarkan data kepolisian per 13 Oktober 2020 tercatat 5.198 peserta aksi yang ditangkap polisi dalam demonstrasi UU Cipta Kerja. Apalagi di masa pandemi ini seharusnya kita mengurangi kerumunan massa. Demonstrasi di masa pandemi bukanlah keputusan yang bijak. Bila aksi demonstrasi dilakukan, bukankah dapat menyebabkan timbulnya kluster baru penyebaran Covid-19? Yang ada justru menyelesaikan masalah dengan masalah.
Jadi agar tak perlu menggunakan aksi demonstrasi di masa pandemi, generasi muda dapat mengkritik pemerintah dengan cara berkarya. Zaman semakin modern. Teknologi semakin berkembang. Karya-karya para generasi milenial bahkan semakin unik dan menarik dengan memanfaatkan berbagai teknologi. Baik melalui tulisan berupa puisi, cerita, atau gambar berupa karikatur, kartun, bahkan melalui konten di media sosial, dan karya-karya lainnya. Tentu hal itu dapat dimanfaatkan. Asal kembali seperti yang disebutkan sebelumnya, mengkritiklah sesuai etika yang baik dan benar.
Dengan memberikan kritik membangun bagi pemerintah, merupakan salah satu peran generasi muda mewujudkan demokrasi di Indonesia. Pemerintah juga tidak boleh otoriter maupun di pihak oposisi. Pemerintah tak boleh selalu merasa benar bila jelas-jelas melakukan tindakan yang menyimpang. Oleh karena itu, menyampaikan kritik dengan cara yang benar adalah jiwa demokrat. Dan kita sebagai generasi muda patut berkontribusi bagi bangsa dan negara.