Menanggapi tulisan : Ni Ketut Ayu Fitarini, Ni Made Galuh Cakrawati Dharma Wijaya, dan I Gede Abhijana Prayata Wistara
Saya tertarik akan pernyataan yang tertera dalam artikel berjudul “Indonesia Dulu dan Kini : Perjuangan Tidak Pernah Berdiri Sendiri” mengenai “keluar dari zona nyaman” yang sebenarnya tidak 100% tepat. Namun, lebih tepat bagaimana cara kita mengembangkan dan melebarkan zona kita. Jika keluar zona nyaman hanya untuk menyerupai seseorang yang dikagum-kagumkan, sama saja kita masih belum tau apa peran diri kita sendiri sebenarnya. Begitulah yang tersurat di dalamnya. Dan saya amat menghargai pendapat yang dituliskan dalam tulisan sebelumnya.
Akan tetapi dalam perspektif saya, pernyataan itu tak sepenuhnya tepat, namun tak sepenuhnya salah pula. Bukankah keluar dari zona nyaman itu sejatinya justru untuk membentuk sikap dan mental seseorang ? Keluar dari zona nyaman merupakan jalan untuk berkelana mencari jati diri yang sebenarnya. Singkatnya, sebab kita belum mengetahui peran diri kita sendiri, mau jadi apa nantinya, atau kontribusi apa yang dapat kita berikan pada negara, maka dari itu kita perlu keluar dari zona nyaman. Untuk berpetualang sembari menyadarkan betapa kerasnya hidup yang sebenarnya. Pernah mendengar kata pepatah, “Hard time make a great people” ? Saat seseorang berada di luar zona nyamannya, kondisi yang membuat ia terjebak dan mau tak mau harus menentukan ke mana akan melangkah. Langkah yang diambil saat itu akan menentukan bagaimana selanjutnya dirinya terbentuk. Terbentur, terbentur, terbentuk.
Dikatakan berhasil di luar zona nyaman apabila mampu menjadikan hal yang tidak nyaman menjadi nyaman. Barulah setelah kita sukses menemukan jati diri kita yang sebenarnya, kita dapat melebarkan sayap di bidang itu. Mengembangkan potensi - potensi yang dimiliki dan berkontribusi bagi bangsa Indonesia. Itulah yang sepatutnya dilakukan generasi milenial Indonesia. Jikalau memang sedari awal sudah mengetahui peran diri sendiri, silakan diperdalam. Keluar dari zona nyaman itu adalah pilihan. Yang paling utama adalah kemauan untuk berkontribusi dalam menjaga dan merawat Ke-Indonesiaan. Karena sebagian besar generasi milenial kini dalam kondisi ‘darurat’ kemauan menjaga Indonesia.
Seperti yang diungkapkan dalam artikel berjudul “Indonesia, Negara Compang-Camping” tentang pemikiran sebagian besar anak bangsa. “Toh, bangsa yang cerdas maupun tidak cerdas tidak akan mempengaruhi kehidupan pribadi saya. Tidak akan ada yang berubah,” pikir anak kandung bangsa. Memang benar, untuk satu sampai lima tahun dalam kehidupan mereka tidak akan terpengaruh. Namun lima belas tahun kemudian, ketika mereka sudah menginjak usia matang untuk keluar dari kolam renang dan terjun menuju lautan lepas, baru mereka akan merasakan pahit dan kerasnya dunia karena tindakan mereka di masa lalu. Begitulah yang tersurat dalam artikel tersebut dan kali ini saya sependapat dengan hal itu. Seiring dengan berkembangnya teknologi dan digitalisasi, semakin ke sini jiwa individualisme dan egoisme masyarakat semakin besar. Jangankan anak muda, orang dewasa saja kian banyak yang asyik berkutat dengan ponsel pintarnya bahkan hingga tak sadar menelantarkan anaknya yang masih kecil. Kalau sudah begini, siapa yang mau disalahkan ? Orang dewasa tak berhak menjadikan anak - anak muda sebagai kambing hitam. Sebab keduanya sama saja. Semua pihak merasa dirinya benar, imbasnya pun mengenai negara kita. Indonesia jadi berada di ambang perpecahan, atau bahkan kehancuran akibat keegoisan masing - masing. Apa kita mau menyia - nyiakan apa yang sudah diperjuangkan para pahlawan kita mati - matian ? Di mana bentuk rasa menghargai jasa mereka ?
Inti sebenarnya yang dibutuhkan adalah kesadaran dari dalam diri untuk mencintai dan menjaga Indonesia sepenuh hati. Dan salah satu langkah untuk menumbuhkan kesadaran, dimulai dari sistem pendidikan Indonesia. Karena pendidikan lah yang dienyam sejak dini hingga anak - anak bangsa siap mendobrak berbagai perubahan. Tak perlu menuntut siswa berlomba - lomba mendapat nilai sempurna. Sebab jika pada akhirnya mereka menghalalkan berbagai cara termasuk cara curang sekalipun, apa yang didapatkan ? Sama saja secara tak langsung hal itu membunuh karakter bangsa. Akibatnya mental mereka menjadi mental korupsi. Sekarang jadi sadar bukan alasan mengapa korupsi masih belum berhasil diberantas di Indonesia ? Tak lain dan tak bukan karena sistem pendidikan Indonesia sendiri.
Masih perlu bukti bagaimana ‘tertinggalnya’ sistem pendidikan Indonesia ? Lihat saja proses pembelajaran daring yang berlangsung selama pandemi Covid - 19 ini. Seperti yang diungkapkan dalam artikel berjudul “Membangun Pondasi Satu Milenia”. Mereka, generasi muda saat ini, mempertaruhkan masa depan mereka saat mengikuti pembelajaran daring yang penuh dengan ‘coba - coba’ ini. Tetapi apakah mereka pernah koar - koar di jalanan menuntut pemberhentian pembelajaran daring ? Anda tahu sendiri jawabannya. Mau mengelak pun, nyatanya fakta di lapangan berkata demikian.
Jadi untuk membentuk generasi milenial yang mampu memajukan dan menjaga Indonesia, langkah pertama yang perlu dilakukan yakni perlunya perbaikan terkait sistem pendidikan di Indonesia. Saya kembali sependapat dengan tulisan dalam artikel “Indonesia, Negara Compang-Camping” mengenai pendidikan Pancasila yang seharusnya diwujudkan. Di sana disebutkan bahwa dibutuhkan suatu mekanisme atau gerakan penumbuhan karakter, di antaranya melalui sosialisasi, penyempurnaan pembelajaran, dan aneka kompetisi, sehingga profil Pelajar Pancasila dapat terwujud. Dengan identitas budaya Indonesia dan nilai-nilai Pancasila yang berakar dalam, masyarakat Indonesia pada masa mendatang menjadi masyarakat terbuka yang berkewargaan global, dapat menerima dan memanfaatkan keragaman sumber, pengalaman, serta nilai-nilai dari beragam budaya di dunia, namun sekaligus tidak kehilangan ciri dan identitas khasnya.
Pada akhirnya, semua yang mengambil peran dalam pendidikan harus mau keluar dari zona nyaman demi tercapainya keberhasilan proses pendidikan. Pendidikan yang mampu menumbuhkan kesadaran generasi muda dalam menjaga dan merawat Ke-Indonesiaan.