Oleh: Putu Masayu Cahyaning Lestari
Perang yang tak kunjung berakhir, begitu istilahnya. Kalimat yang cukup menggambarkan bahwa kondisi masyarakat Indonesia saat ini sebetulnya sedang berperang. Bukan dengan menggunakan senjata tajam, namun hanya dengan menggunakan sentuhan jari saja. Tak ayal jika digitalisasi disebut-sebut sebagai lawan yang nyata bagi masyarakat Indonesia belakangan ini. Bukannya tanpa alasan, namun paparan nyata digitalisasi terus menerus mendesak masyarakat untuk tak pernah berhenti melakukan perubahan. Semakin didesak, maka akan semakin besar kemungkinan masyarakat untuk masuk ke dalam lubang digitalisasi.
Bak istilah awal, digitalisasi yang semakin mengakar, maka perang tak kunjung berakhir. Digitalisasi akan selalu menargetkan banyak orang dengan satu tujuan. Target yang disasarkan bukan kepada satu orang, melainkan kepada banyak orang atau bahkan satu generasi. Sasaran perang dalam era digital inilah yang sedikit membedakan suasana perang masyarakat di zaman sekarang dengan perang yang tertulis dalam sejarah.
Berbicara mengenai perang di tengah digitalisasi, ada satu alasan mengapa perang di tengah era digital ini tak kunjung berakhir. Selain alasan memang saat ini zaman digitalisasi, sasaran yang ditargetkan dalam perang di era digital ini tergolong sasaran baru dengan daging yang masih mentah. Maksudnya, target utamanya adalah sekelompok orang atau generasi yang karakternya belum terukir pasti dalam jati dirinya. Contohnya adalah generasi milenial, generasi yang terpapar digitalisasi pada garis terdepan. Milenial pada dasarnya menjadi salah satu generasi yang mengikuti perkembangan digitalisasi dari awal. Segala perkembangan tak luput di mata para milenial. Generasi digital pun menjadi sapaan akrab bagi generasi milenial. Di samping itu, milenial juga dikenal sebagai generasi yang ikut mendominasi kependudukan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari data infografis Hasil Sensus Penduduk yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik tahun 2020, dimana presentase generasi milenial sebesar 25,87% atau sebanyak 69,38 jiwa. Angka ini seakan memberikan angin segar untuk kondisi perang di tengah digitalisasi. Dengan tujuan untuk menuntut perubahan berskala besar, digitalisasi lebih dahulu menuntutnya kepada para milenial. Hal ini dikarenakan milenial sebagai garis terdepan dari digitalisasi belum memiliki karakter dan mental yang cukup untuk beradaptasi dengan dunia digital. Persis seperti kutipan yang tak asing lagi didengar di telinga, “Jika ingin menghancurkan suatu bangsa, hancurkan generasi mudanya.”
Sebagai target utama perang digital, milenial memang berkarakter kompetitif dan terbuka terhadap perubahan. Karakter ini sebetulnya pantas sebagai kunci untuk masa depan Indonesia yang baru. Namun sayangnya, karakter ini justru membuat milenial lebih mudah terpapar terhadap hal negatif di tengah digitalisasi. Contohnya, berita bohong atau hoaks. Milenial di tengah digitalisasi tidak akan pernah lepas dari berita bohong. Informasi-informasi yang disebarkan dalam berita bohong tertulis secara singkat dengan pembahasan yang menarik dan sensitif. Tujuannya adalah untuk menyasar milenial agar mudah percaya dengan berita tersebut. Biasanya, sekali mendapatkan informasi baru, para milenial hanya membacanya sekilas tanpa mencari lebih dalam. Dan bila memang menggiurkan di mata mereka, jari milenial akan lebih cepat untuk membagikannya secara luas. Suatu kelemahan dari karakter generasi milenial, yang ditandai dengan malasnya berliterasi. Kondisi ini yang justru mendatangkan keuntungan bagi para pelaku di balik layar, yang mana mereka merasa puas melihat target mereka lebih memercayai berita bohong itu.
Selaras dengan berita bohong, perang generasi milenial dengan digitalisasi juga datang dalam bentuk aliran atau paham baru. Radikalisme, namanya. Menurut artikel berjudul “Radikalisme” dari Deutch Welle tahun 2021, radikalisme diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan. Belakangan ini, radikalisme tampaknya lebih sering menyebar di tengah digitalisasi. Hal ini dikarenakan sasaran termudah dari radikalisme ada di tengah digitalisasi. Memang radikalisme belum familiar di telinga para milenial, namun sasaran dari radikalisme saat ini adalah para milenial. Milenial sebagai sasaran dari radikalisme akan selalu dikaitkan dengan jati diri generasi milenial yang belum beridentitas keindonesiaan. Tak sepenuhnya salah karena masih sedikit generasi milenial yang menyadari jati diri keindonesiaan dalam jiwa mereka. Generasi milenial umumnya lebih menyadari terhadap perubahan baru yang menarik minat mereka. Dan digitalisasi adalah penyebab dari hilangnya jati diri keindonesiaan dalam jiwa milenial. Padahal milenial sering disebut sebagai generasi perubahan. Generasi yang membawa kunci perubahan di langkah mereka. Namun saat ini, karakter dan mental keindonesiaan-lah yang menjadi permasalahan utama dari para milenial.
Istilah Bung Karno berkalimat Jas Merah, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” sepertinya perlu dibawa ke permukaan kembali. Seperti istilah tersebut, karakter dan mental keindonesiaan terukir dalam setiap sejarah yang dimiliki oleh bangsa ini. Karakter yang telah dibentuk sejak lama ini seharusnya tidak boleh ditinggalkan oleh para milenial. Terlebih di tengah perkembangan pesat digitalisasi, karakter dan mental keindonesiaan penting untuk ditanamkan dalam benak milenial dan generasi sedigitalisasinya. Cerminan karakter dan mental keindonesiaan ada dalam pendidikan karakter dan Gerakan Nasional Revolusi Mental yang digaungkan oleh pemerintah saat ini. Dilansir dari artikel Kementerian Keuangan Republik Indonesia berjudul Gerakan Nasional Revolusi Mental Di Masa Pandemi pada Minggu, 6 Desember 2020, gerakan ini bertujuan untuk memperbaiki dan membangun karakter bangsa yang mengacu pada nilai-nilai intergritas, etos kerja, dan gotong royong untuk membangun budaya bangsa yang bermartabat. Dimana, nilai-nilai ini tampak dijabarkan lebih langsung dalam tiga belas poin pendidikan karakter. Kuncinya, bila karakter dan mental keindonesiaan ini sudah terukir pasti dalam jiwa milenial, maka kecil kemungkinan para milenial gampang terbujuk dengan hal negatif yang ada dalam dunia digital. Maka nantinya, kunci perubahan yang ada di langkah mereka akan semakin terukur dan pasti hasilnya.
Digitalisasi membuka lebar peluang generasi milenial untuk memaksimalkan langkah milenial dalam mengambil peran untuk Indonesia. Namun dari sekian banyaknya peran yang dapat diambil milenial, menumbuhkan literasi adalah hal terpenting saat ini. Milenial harus dapat bercermin dari dirinya sendiri bahwa menurunnya literasi akan melonggarkan jati diri generasi muda Indonesia. Digitalisasi akan mengharuskan milenial untuk berlari melakukan perubahan yang tak terukur pasti. Namun, pendidikan karakter dan mental keindonesiaan adalah rem yang dapat diinjak milenial untuk mengendalikan kecepatan mereka dalam berubah. Tugas milenial hanya satu, membentuk kembali apa yang sudah terbentuk dalam karakter dan mental bangsa Indonesia. Sudah tercermin dalam langkahnya bahwa generasi milenial memegang tongkat estafet keindonesiaan dalam waktu dekat. Kalau bukan milenial Indonesia yang membangun bangsanya sendiri, siapa lagi?