Sudah lebih dua tahun Indonesia diguncang bencana dengan merebaknya Covid-19. Bahkan hingga kini sebagian sektor masih saja terguncang akibat Covid-19, tak terkecuali sektor pariwisata Lantas bagaimana dampak bali yang bergantung pada sektor pariwisata?
Salah satu objek wisata Indonesia yang telah lama mendunia adalah Pulau Dewata Bali. Siapa yang tak kenal dengan Bali. Pulau surga nan eksotis dan elok yang menyimpan panorama alam yang melimpah hingga dapat memanjakan mata. Punya daya tarik tersendiri menjadikan Bali banyak dikunjungi oleh para pelancong dalam negeri atau pun turis-turis asing dari berbagai negara.
Namun, gemerlap wisata Bali sirna setalah adanya bencana yang mengguncang seluruh dunia tak terkecuali Indonesia. Tercatat hingga Kamis (26/08) pukul 13.00 WITA, Bali masih saja mencatatkan angka penambahan kasu pasien positif mencapai 565 orang dengan total keseluruhan mencapai 104.820 orang. Walau jika dibandingkan data Covid-19 pekan lalu menunjukan adanaya penuruna. Bali tentu tak ingin hilang fokus dalam euforia dan cepat-cepat membuka kembali pariwisata yang sempat ditutup.
Bali sebagai pulau pariwisata sudah seperti terjun payung saat pertama pandemi Covid-19 menerpa. Banyak yang berprofesi di bidang pariwisata seperti tour guide, pengelola tempat wisata, pelayan, perusahaan travel harus gulung tikar akibat Covid-19. Bagaimana tidak, jika dilihat lebih lanjut sejak awal bencana ini belangsung dari 217 destinasi dunia, Indonesia termasuk ke kelompok 29 % negara yang memilih kebijakan penutupan penuh border wisatawan internasional
Kondisi ini tak tauh dirasakan oleh I Gusti Alit Ardana (35) yang selama bertahun-tahun sudah menekuni pekerjaan sebagai tour guide sekaligus meneger art shop di daerah Tampak Siring. Ia yang dulu keseharian banyak menemani para tamu untuk ia bawa berkeliling menikmati keindahan Bali harus gulung tikar. Wisatawan tak banyak datang sejak tahun lalu 2020 hingga sekarang dan itu berimbas pada perekonomiannya. “ Nggih (red- iya), memang sejak tahun lalu sudah sedikit tamu yang datangnya. Sebelum pandemi tiap hari terima tamu, di pertengahan (sekitar bulan Juli 2020) sedikit-sedikit mulai sepi. Dan sampai hari ini akhirnya tidak ada tamu” ujar Gus Alit sejak diwawancarai pada Jumat (28/8) via Online.
Sedikitnya wisatawan yang datang berkunjung ke Bali, juga mempengaruhi jalannya art Shop miliknya. Dengan menjual pernak-pernik bernuansa tulang untuk oleh-oleh khas Bali, art shop yang sudah dirintis Gus Alit harus ditutup sementara, untuk mengurangi biaya operasional yang bulai membengkak. “ada sekitar 5 juta kalau ramai dalam satu bulan. Sekarang cari Rp. 300.000 saja susah kalau dari art shop,” aku Gus Alit.
Untuk menutupi perekonomian keluarga, Gus Alit harus banting setir dari pekerjaan yang ia cintai sebagai tour guide dan penggiat seni menjadi peternak kambing. Total ada tiga kambing yang ia urus hingga sekarang. Pagi-pagi setelah bangun, ia harus pergi ke tebe (ladang) untuk mencari rumput yang akan diberikan pada kambing – kambingnya. Kulit putih yang awalnya ia miliki sedikit demi sedikit berubah warna menjadi coklat kehitaman, tentu ini bukan tanpa alasan mengingat ia harus mengumpulkan rumput untuk kambingnya hingga siang hari di bawah sinar matahari. “ Nyanan, bapak ke orin meli ka (nanti, suruh bapakmu yang beli ka )” jawab Gus Alit di seberang telfon sambil diselingi tawa ringan.
Jika dilihat lebih lanjut, Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali juga telah menyatakan pariwisata Bali berpotensi merugi hingga Rp138,6 triliun atau US$9 miliar (mengacu pada kurs Rp15.400 per dolar AS) akibat pandemi virus corona.
Tidak sampai disana istri Gus Alit, Ayu Winanti (35) yang pekerjaannya masih berhubungan dengan pariwisata, yakni pengerajin perhiasan di daerah Canggu. Sebagia supervisor di kantor tempat iya bekerja. Ayu yang biasanya bekerja setiap hari harus memangkas waktu kerjanya menjadi satu atau dua kali seminggu. Bukan hanya dia, seluruh karyawan di bawanya juga terpaksa harus dirimahkan. “Sesuai orderan kalau sekarang. Kalau ada orderan baru kerja” ucap ayu saat di sebrang telfon.
Sama halnya dengan suaminya Gus Alit, Ayu juga turut membatu perekonomian keluarga dengan mulai mencoba peruntungan di bidang usaha. Dengan uang tabungannya, ia dan anaknya mulai membuka warung di depan rumahnya. Usaha yang baru ia tekuni ini beru berumur dua bulan saat ini, masih burtuh banyak penyesuaiian. “ sepi ka, paling rame melem ne gen (red- malamnya saja),” aku Ayu.
Tentu jika sepeti ini keadaanya, bukanhanya pariwisata Bali yang teracam, tapi juga ekonomi Bali yang terus bergejolak. Jika melihat data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, tercatat perekonomian di Bali mengalami penurunan yang drastis. Yakni pada triwulan I 2020, tercatat menyusut sebesar -1,14 %. Hal ini dapat diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga berlaku ADHB sebesar Rp. 60,60 triliun dan berdasarkan atas dasar harga konstan ADHK yang tercatat sebesar Rp. 38,65 triliun. Bahkan hal ini terus berlanjut hingga triwulan II 2020. Tersungkur lagi hingga -10,98 %, Bali mutlak alami resesi. Inilah potret ekonomi Bali yang paling tergolek layu, selama satu dasawarsa terakhir. Menurut data BPS, pariwisata Bali menyumbang setidaknya 48,3 % terhadap perekonomian Bali.
Melihat kondisi ini, pemerintah Bali memang tidak diam saja. Pemerintah terus menghimbau masyaraka untu terus menerapkan protokol kesehatan Covid-19 sepeti memakai masker, menjaga jarak, rajin mencuci tangan dan masih banyak lagi. Apaun selain itu, pemerintah terus mengimbau agar masyarakat sadar akan bahaya yang mengancam dari Covid-19 dan mendisipinkan diti terkai kebijaka-kebijakan yang pemerintah buat, guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19.