Karya: Rico Majesty Daniel Mitra
Keheningan suasana tergambar jelas di suatu ruangan. Arka dengan ketertarikannya mendalami buku itu dengan imajinasinya, sepertinya mulai menghabiskan waktunya untuk hal yang terlukis dalam benaknya. Sudah sekian buku bertema psikologi ia resapi sebagai penikmat alur cerita yang menarik.
Fokus Arka terbagi dua tatkala telinganya menangkap sayup suara pintu kamar yang berusaha dibuka oleh seseorang di balik sana. Sontak Arka menoleh ke arah sumber suara. Nampaknya sang kakak, Dina, menyembul dari balik pintu dengan air wajah masam. Bukan tanpa alasan Dina memasang muka demikian. Pertengkaran hebat kedua orang tua mereka menjadi penyebab utama.
“Kak, capek banget ya tiap hari gini terus. Mau ngasih tau kalau Arka capek, nanti malah saling nyalahin bukannya introspeksi diri,” keluh Arka pada sang kakak.
“Sabar ya Ar, kakak juga gak tau mau ngapain sekarang. Sekarang kita cuma bisa nerima hasilnya aja,” jawab sang kakak, pasrah.
“Iya kak, kita sama sama nguatin diri masing-masing ya. Setidaknya kita udah sama-sama bersyukur sama yang kita punya saat ini,” ujar Arka mencoba membiasakan diri dengan situasi sehari-harinya ini. Arka memeluk kakaknya erat, mencoba meredakan ketakutan yang ia alami saat ini.
Selang beberapa menit, suara teriakan kedua orang tua mereka bak petir di siang bolong. Kini suaranya kian mendekat ke arah pintu kamar Arka. Brakkk! Pintu berhasil dibuka secara brutal oleh papanya. Disusul dengan kata-kata kasar yang tiada henti dilempar oleh orang tua Arka. Arka dan Dina kaget bukan main. Keduanya saling menatap satu sama lain dengan penuh tanda tanya.
“Arka sama kakak pasti capek banget sama situasi keluarga kita sekarang ya,” ucap papa dengan raut muka iba pada kedua buah hatinya.
Entah dari mana Arka mendapat keberanian, sontak ia menanggapi perkataan papanya dengan tegas. Meluapkan kata-kata yang selama ini ia pendam.
“Mama sama papa, jujur Arka sama kakak capek banget tiap hari kita gini. Di saat Arka lagi ngerasa damai dan bisa menikmati waktu Arka untuk hal yang lebih berguna, malah dihancurin oleh teriakan-teriakan kalian yang memekakkan telinga Arka. Bisa gak sih kalian kasih Arka ketenangan? Sekali aja..” ujar Arka lirih. Pelupuk matanya sudah dipenuhi air yang siap menetes kapan saja.
Jawaban yang Arka harapkan nampaknya tak dapat ia dengar kala itu. Mama papa Arka justru kembali bertempur hebat, menyalahkan satu sama lain dengan kata-kata yang sebaiknya tidak di dengar oleh Arka. Keheningan ruangan Arka tadi sontak sirna, berganti dengan makian hebat yang meretakkan dinding putih sekeliling ruangan miliknya.
Pikiran Arka bertabrakan satu sama lain. Berulang kali ia mencoba untuk menenangkan pikiran. Namun hasilnya nihil, sebab adu argumen masih terus berlanjut di hadapan Arka dan Dina. Pikirannya semakin kacau, tak dapat dikontrol.
“Mama sama papa, kalau misalnya gini terus Arka bunuh diri ya, jujur Arka udah gakuat,” tegas Arka tiba-tiba, dengan pisau lipat dari laci yang sudah siap memutus urat nadinya kapan saja. Arka yang selama ini diam, kini bertingkah di luar nalar.
“Arka jangan gitu, mama sama papa bakal berhenti. Tapi kamu juga jangan lakuin yang aneh-aneh ya,” pinta sang mama di tengah isak tangisnya. Ditaruhnya pisau di meja, menandakan Arka menyetujui permintaan mama.
Kini keadaan berangsur membaik. Mereka meminta maaf dan saling berpelukan untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka alami saat ini. Mereka memang mudah tersulut api emosi, namun mudah juga memaafkan satu sama lain. Keluarga memang begitu, bukan?
Setelah kejadian itu, semua kembali ke kamar mereka masing-masing. Angin segar sedikit berhembus bagi Arka. Akhirnya ia merasa tenang dengan keputusan yang sudah diberikan. Arka membuang nafas kasar, lalu kembali membaca buku kesukaannya.
Imajinasinya kembali bermain dengan buku di genggamannya. Buku yang tak seharusnya ia baca. Semakin ia mendalami buku itu, ia merasa semakin ketakutan dengan kejadian kedepannya yang tidak terduga. Arka memang sudah tenang, namun ada yang masih mengganjal dalam benaknya. Ada ketenangan lain yang ingin ia gapai. Ketenangan yang akan membuatnya lebih merasa damai.
“Kalau aku menghilang dari semua ini, kayaknya aku bakal ngerasa tenang, deh. Di buku ini banyak yang sudah terbukti, dan aku juga gak akan takut kedepannya, karena aku udah ga mikirin hal kayak gitu lagi,” Arka berujar tanpa sadar.
Keesokan harinya, Dina berniat mengajak Arka pergi menghirup udara segar, sebatas hingga taman dekat perumahannya. Sudah ketukan ketiga, namun tak ada jawaban dari seseorang di dalam kamar. Mungkin Arka masih tidur, pikir Dina. Lama menanti di depan pintu, Dina memutuskan untuk melengos masuk ke kamar adiknya tanpa permisi.
Atmosfer ruangan seketika berubah. Pekikan Dina lolos keluar dari bibir mungilnya tatkala mendapati Arka yang tengah terlelap di lantai. Serentak semua panik mendengar teriakan Dina dan buru-buru berkumpul ke sumber suara. Kini, tak hanya Dina, mama dan papa pun turut berteriak histeris.
Di hadapan ketiganya, tubuh Arka terbujur kaku di lantai dalam kondisi berlumuran darah. Barang bukti masih Arka genggam di tangan kanannya, yakni sebuah pisau lipat yang menjadi saksi pertengkaran hebat kemarin. Arka sedang tertidur, namun tidur untuk selamanya. Niat Dina mengajak Arka pergi pun pupus begitu saja, adik sematawayangnya rupanya sudah pergi mendahuluinya.
Namun disaat itu juga, mata Dina terfokus pada sebuah buku yang tergeletak tak jauh dari jasad sang adik. Selembar halamannya ikut terkena cipratan darah. Namun ada yang janggal. Darah segar Arka seolah sengaja menutupi sebuah kalimat bertuliskan “Ketenangan, hanya ditemukan dalam dekapan Tuhan”. Dan tak jauh dari darah tersebut, pesan singkat terselip dari Arka untuk terakhir kalinya. “Selamat tinggal dunia”.