Karya: Rico Majesty Daniel Mitra
Heningnya suatu ruangan beserta isinya. Namun berbanding terbalik dengan keadaan isi kepala Riyo. Pikirannya yang tengah terombang-ambing, membuat Riyo mulai untuk melakukan sesuatu yang menenangkan pikirannya. Riyo berusaha untuk tenggelam dalam mimpinya, namun hal itu urung terjadi. Riyo kembali berpikir tentang hal tidak berguna lainnya.
Kesenangan yang tidak ditemukannya saat itu, menuntut Riyo untuk melakukan hal konyol dengan harapan sesuatu akan terjadi. Tetapi terulang lagi, tidak ada yang terjadi dan tidak ada yang peduli. Riyo mulai terbiasa dengan situasi ini. Situasi dimana sedikit pun perhatian orang rumah tak pernah tertuju pada dirinya. Riyo mencoba menenangkan pikiran. Meneguk segelas air yang ia bawa sebelum memasuki kamar.
“Coba aja ada yang bisa aku ajak sharing (berbagi –red), mungkin semuanya bakal terasa lebih baik,” keluh Riyo dalam hatinya.
Kebingungan yang masih berlanjut masih menjadi masalah utama yang belum terpecahkan. Pukul tiga dini hari, Riyo mencoba berpikir keras tentang jawaban yang ia inginkan. Pertanyaan demi pertanyaan muncul atas kesepian yang ia rasakan.
“Apa mereka gak senang yaa ngobrol sama aku? Apa aku ngebosenin ya? Atau aku memang gak terlalu penting bagi mereka?” ujarnya yang terus mempertanyakan segala kemungkinan.
Pengaruh faktor usia yang baru 15 tahun menjadi salah satu penyebab kelabilan dan pikiran Riyo yang berlebihan. Keputusan yang selalu bergantung kepada orang lain, menyebabkan Riyo kebingungan bila menghadapi situasi ini. Mulai lelah akan pikiran yang berkecamuk, Riyo memutuskan untuk menyalakan laptopnya dan segera menggapai headset yang berada tak jauh dari dirinya.
Mendengar alunan musik, dengan harapan semuanya akan berubah. Namun itu hanyalah ekspektasi yang tidak mungkin terjadi saat itu. Semakin tenggelam dalam kosongnya pikiran, membuat Riyo semakin bingung kepada dirinya sendiri.
“Aku buat cerpen aja deh, biar apa yang mau aku ungkapin, aku tuangin dalam tulisan,” tegasnya, setelah berpikir barang lima menit tentang apa yang harus ia lakukan.
Dimulai dengan beberapa kata dengan penuh kelancaran. Namun ia tersendat di bagian paragraf selanjutnya. Mengungkapkan perasaan yang bahkan ia sendiri tidak bisa lakukan menuntut Riyo untuk berpikir apa yang sebenarnya ia butuhkan.
“Kayaknya aku benar-benar kurang temen cerita deh, aku cuma pingin ada yang bisa ngertiin aku,” gumamnya.
Sekitar 30 menit telah berlalu. Riyo mulai merasa walaupun ia sudah mengungkapkan isi hatinya dalam cerpen ini, namun kejanggalan itu tetap ada dan tidak bisa diatasi. Namun, Riyo tetap mencoba melanjutkan cerpen yang sudah ia garap.
Waktu yang tidak terasa sudah berjalan sekitar 90 menit, menghasilkan rangkaian kata-kata dengan kisah yang mengambarkan dirinya saat itu. Tiba-tiba, ia mulai kebingungan untuk memilih akhir kisah yang diharapkan pembaca cerpennya itu.
“Apa ya yang harus aku tulis lagi? Aku gak mau pembacaku kecewa, tapi aku gak bisa membuat akhir yang menggoda,” ujar Riyo penuh kepasrahan.
Beberapa saat terlewatkan, namun tetap saja, Riyo tidak menemukan jawaban yang menurutnya akan diharapkan pembaca. Riyo mencoba menutup matanya untuk istirahat sejenak. Barang kali dengan terpejam, Riyo dapat menjernihkan kembali pikirannya yang kacau.
Seketika selang beberapa menit Riyo tertidur, munculah sesosok mahkluk kecil berwarna putih terang dari sisi kiri kepalanya. Sosok itu mendekat menuju laptop Riyo yang masih menampilkan cerpennya yang menggantung. Bak sihir, kata demi kata tertulis dalam layar laptop Riyo. Menghasilkan akhir yang menarik, tanpa Riyo ketahui siapa pelakunya. Ia adalah teman kecil Riyo, yang senantiasa muncul kala Riyo penat akan hidupnya yang hambar.