We have 24 guests and no members online
Karya: Pande Putu Puspaningayu Agustin
Kadang angin berhembus menusuk jiwa yang lemah ini
Terasa makin rapuh di senja yang makin memutih
Lunglai sudah langkah ini
Karya: Pande Putu Puspaningayu Agustin
Kadang angin berhembus menusuk jiwa yang lemah ini
Terasa makin rapuh di senja yang makin memutih
Lunglai sudah langkah ini
Karya: Putu Masayu Cahyaning Lestari
Hari itu,
aku hampir kecewa.
Aku mungkin tidak akan dapat menyaksikan senyuman bangga dari ayah dan ibuku.
Hari itu juga,
aku hampir bahagia.
Setidaknya aku bisa membuktikan diriku sepenuhnya,
Sejak detik ini.
Karya: Luh Nitya Sawitri
Petir menyambar, menghasilkan suara yang amat menggelegar. Hujan mengeroyok jalanan, hingga memenuhi selokan di depan rumah Harsa. Bulan purnama yang seharusnya bersinar terang malah bersembunyi dibalik hitamnya awan. Malam itu sangat suram. Namun tak lebih suram dari kehidupan Harsa. Harsa yang selama ini terlihat sangat bahagia dan supel, ternyata memiliki latar belakang gelap yang tak seorang pun mengetahuinya. Ia sibuk menyebarkan kebahagiaan untuk orang-orang sekitarnya. Walaupun selama ini yang ia dapatkan tidak lebih dari sekadar kebahagiaan palsu
Harsa duduk sambil memeluk kedua kakinya di pojok kamar, Saat teriakan-teriakan mulai terdengar dan menambah kesuraman. Desiran angin malam yang begitu dingin masuk menyusup melalui celah-celah ventilasi, lalu menyelimuti tubuh hangatnya. Kabut tebal serta asap tipis tak pernah absen untuk hadir. Keberadaan mereka yang tak diinginkan membuat kesuraman malam itu semakin terasa. Harsa semakin memeluk erat kedua kakinya, menahan rasa dingin yang mengeroyoknya. Atau mungkin juga, menahan amarah, karena teriakan-teriakan itu tak kunjung reda. Samar-samar terdengar Lontaran kalimat dari dua insan yang sedang beradu pendapat tersebut.
“Dia bukan anak kita, darah dan dagingnya tidak berasal dari kita!” teriak seorang wanita.
“Iya aku ngerti. Tapi biarpun begitu, kita tetap bertanggung jawab atas kehidupannya, karena kita sudah memilih untuk mengadopsi Harsa.” Balas seorang pria dengan nada lembut yang terdengar sabar.
“Bukan kita! Cuma kamu! Kamu yang mengadopsi anak itu tanpa persetujuan ku. Kamu yang bersalah atas semua ini. Kamu seharusnya meminta persetujuanku, bukannya memilih untuk mengambil keputusan sepihak!” Wanita itu berteriak lagi, dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Tanpa Harsa sadari satu per satu bulir air mata mulai mengalir. Terlintas keinginan untuk lari dari kenyataan pahit yang seakan menjahit takdirnya untuk tetap berada disana. Kegelapan menyelimuti hati bersih Harsa. Anak yatim piatu itu mengambil keputusan yang sangat berani untuk meninggalkan neraka yang selama ini mengekangnya.
Harsa menguatkankan raganya. Berusaha berdiri walau tak bertenaga. Memaksakan kakinya melangkah walau dengan terhuyung-huyung. Ia membuka pelan jendela kamarnya. Suara air hujan menyambar masuk ke kamar Harsa, bersama dengan beberapa rintik hujan yang mencuri celah agar bisa menyentuh tubuh Harsa. Satu per satu kakinya mulai melangkah keluar. Dengan telanjang kaki, Harsa memijak rumput basah yang tergenang air. Ia memeluk tubuhnya yang hanya dibalut oleh kaos tipis dan celana pendek usang, tanpa penghangat tubuh lainnya.
Harsa berjalan gontai menyusuri jalanan sepi yang hanya diterangi lampu jalan yang mulai redup. Ia benar-benar seorang diri. Tak ada orang lain yang berlalu-lalang. Hanya suara petir dan hujan yang mengiringi pelarian Harsa malam itu. Demi bertahan hidup, ia memberanikan diri untuk mengetuk satu per satu rumah penduduk yang berjejer rapi di samping jalan. Malangnya, tak satupun warga membukakan pintu untuknya.
“Mungkin mereka tidak mendengar ketukanku. Tangan ini terlalu lemah untuk mengetuk pintu kayu itu dengan keras dan kuat” gumam Harsa yang mencoba untuk berpikir positif, ‘atau mungkin mereka tidak mau membukakan pintunya untuk anak yang terlantar sepertiku’ batinnya.
Ia melanjutkan langkahnya yang gontai. Belum menyerah. Ia menghampiri rumah demi rumah. Mengetuk pintu demi pintu. Serta mengucap salam disetiap rumah yang dihampirinya. Harsa begitu yakin, bahwa akan ada seorang malaikat yang membukakan pintu untuknya. Menghangatkan tubuhnya di depan tungku dengan selimut yang membalut tubuhnya. Namun, takdir berkata lain, saat ia akan mengetuk pintu rumah yang ke-20, kakinya menjadi begitu lemas. Ia tak mampu berdiri. Matanya mulai tertutup. Napasnya lemas tak beraturan.
“Tuhan.. Tolong aku..” ucap Harsa.
Seakan mendengar pinta tersebut, Tuhan mengirimkan malaikatnya untuk menjemput Harsa kecil yang terkulai lemas tak berdaya. Tuhan telah mengambil semua penderitaan Harsa. Tidak aka nada lagi kepalsuan di keabadian.
Karya: Putu Masayu Cahyaning Lestari
“Selamat datang, Tuan Rumah!” sapamu dengan gembira.
Sambutan itu selalu menandai linimasa baru telah dimulai
Dengan rengkuhan hangatmu, pintu tak berwujud ini melebur
Ah.. Rasanya, ini kali pertamanya aku mengunjungi duniaku dari ruang yang berbeda
Dan, satu dari seribu kalinya kamu mengundangku untuk memanipulasi waktu
Duniaku ini memang luas,
Tetapi duniaku terlalu buas untuk dipertahankan, tuan
Entah harus senang atau tidak,
Kau yang mengetahui fakta itu tetap tidak peduli dengan garis waktumu
Untuk segala kesempatan yang aku dapatkan ini,
Biar ku beritahu seberapa pentingnya kehadiranmu dalam menyambutku
Biar ku beritahu seberapa menggemaskannya kamu setiap kembali mengunjungi dunia ini
Untuk kesekian kalinya,
Biar ku beritahu seberapa beruntungnya diriku diberi kesempatan untuk hadir dalam linimasamu.
Karena pada akhirnya,
Dunia ini bukan milikku, kawan.
Tuan rumah yang sebenarnya, adalah dirimu.
We have 24 guests and no members online