Karya: Kadek Novi Ariyanti
Telapak tangan berukuran bak raksasa mengelus pelan kepalaku yang sedang asik bermainmain dengan cat air di kanvas kesayanganku. Tidak lain dan tidak bukan, ayah. Kutara Maheswara. Dumbledore panggilku biasanya. Tangannya memang raksasa bahkan dapat menutupi seluruh wajahku. Sedari lahir, tangan raksasa ini mungkin dapat dikatakan menjadi tangan yang paling aku sukai. Tangan pembawa kehangatan yang tidak pernah gagal memastikanku mendapatkan kasih sayang yang cukup.
Suara berat yang memenuhi ruangan dengan nyanyian-nyanyian lama khas tahun 90-an yang tenar pada masa mudanya. Salah satu suara paling merdu dan paling halus yang pernah aku dengarkan selain suara ibunda negara. Suara yang tidak pernah meninggi meski aku salah sekalipun. Kata nasehat lembut yang selalu memberi pengajaran kapanpun aku mendengarnya membuatku mengerti bahwa memberi nasehat tidak semata-mata harus dengan nada marah bahkan sampai melontarkan kata-kata yang menyakiti hati.
Meski sudah remaja bahkan peralihan menuju umur dewasa, bagi Kutara putrinya ini akan terus menjadi gadis kecil pencinta es krim yang tidak pernah tumbuh dan selalu memerlukan dirinya untuk menemani keseharian anak semata wayangnya ini.
Nerrisa Meiana. Terlepas dari arti indahnya, aku sangat menyukai nama yang diberikan kedua orang tuaku karena perpaduannya terdengar cantik. Ibuku memang seorang yang puitis. Meski terdengar romantis dan juga penyayang, ibuku memiliki sifat yang lumayan lebih kaku jika dibandingkan dengan ayah. Hobi menggambarku kadang kala diragukan karena dianggap hanya hobi biasa yang dilakukan oleh anak-anak. Ayah tidak pernah setuju dengan itu. Apapun yang ingin dilakukan oleh anaknya, ayah akan mendukungnya dan tidak pernah membatasi selagi itu kegiatan yang positif.
“Icca, hari ini gambar apa?” sapa ayah lembut dengan membawa mp3 player antiknya lengkap dengan headset yang menempel di telinganya. Mendengarkan playlist kesukaan yang tidak habis-habis terulang bak kaset rusak.
“Ini yah, lagi gambar ilustrasi untuk buku yang aku baca tadi. Tiba-tiba kepikiran ide aja gitu pengen aku upload di instagram,” aku menjelaskan dengan nada yang tidak kalah seru dibandingkan lagu yang didengar ayah.
“Keren banget gambar anak ayah.”
Aku senang dipuji oleh ayah. Walaupun pujian demi pujian selalu aku dengar setiap hari, aku tidak pernah bosan mendengarnya jika itu berasal dari ayah. Ayah tidak pernah segan menemani aku setiap hari bahkan kadang kala ayah menemaniku seharian di ruang gambar yang dibuatkannya untukku. Ibu sesekali tetap menjengukku disela-sela menggambar sambil membawa semangkok buah-buahan atau minuman dingin kesukaanku tidak lupa lengkap dengan topping boba yang menjadikan hariku tambah sempurna.
“Icca, ibu bawain pepaya nih. Habisin ya nanti, jangan sampai sisa. Inget juga istirahat sama main-main ke luar,” Wanita berumur sekitar 45 tahunan muncul dari balik pintu sambil membawakan camilan apapun yang ada di dapur untukku. Aku tidak kalah sayang kepada ibu. Biarpun ibu sempat tidak mendukung penuh hobi menggambarku, namun sekarang ibu sudah berubah pikiran setelah melihat hasil gambarku dan kesenanganku akan menggambar. Beberapa yang telah aku unggah ke media sosial bahkan menerima respon positif dari orangorang dan tidak sedikit pula ada orang yang menawarkan pembelian gambar kepadaku.
Kegiatanku ini membuatku hampir tidak pernah keluar rumah. Bahkan seingatku terakhir kali aku keluar rumah adalah satu tahun yang lalu. Semua kenangan indah ada di rumah ini jadi aku tidak merasa perlu sekali untuk keluar rumah. Teman? Itupun dapat dihitung jari karena diriku yang susah berinteraksi dengan orang lain. Kebanyakan teman dekatku dulu sudah pergi ke luar daerah untuk melanjutkan pendidikannya. Jadi tinggallah aku disini, bersama ibu, ayah, dan mbak Putri yang membantu pekerjaan rumah ibu. Aku tidak terlalu menyukai tatapan mbak Putri yang terlihat sinis ke hadapanku. Mungkin karena mbak Putri melihatku aneh bagaikan burung yang mengurung diri seharian untuk menggambar dan kadang kali berkicauan menyanyikan playlist lagu ayah yang sudah bosan aku dengarkan.
Sore ini mungkin menjadi salah satu sore itu lagi, hari dimana aku benar-benar sudah muak untuk mengurung diri dan akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruang gambarku dan berjalan mengelilingi sekitar rumah. Banyak sekali hal yang dapat dilakukan di rumah. Aku dapat bermain dengan bola basket kesayangan ayah semasa SMA-nya. Katanya sih bola ini menjadi bukti cinta seorang ayah Kutara kepada ibunda. Ring basket juga terpampang siap di halaman sempit yang tersedia untuk sekedar sedikit meregangkan tubuh dari rasa jompo akibat kelamaan duduk.
Baru satu kali bola basket memasuki ring, pikiran untuk pergi ke tempat duduk santai ayah menarik perhatianku karena sepertinya lebih seru dilakukan jika dibandingkan dengan sekedar sendirian bermain menatapi ring. Ayah terlihat duduk sambil memandangi indahnya senja sambil ditemani secangkir teh. Ayah memang bukan tipikal yang menyukai kopi. Katanya sih pahit dan membuatnya jadi terjaga sepanjang malam. Ayah santai membolik-balik sekaligus membaca koran berwarna monokrom miliknya.
“Ayah, ini bukannya koran udah lama ya? Kenapa baca ini terus sih? Kayaknya bacaannya ga ganti-ganti deh. Kalo aku jadi ayah pasti aku udah hapal semua isi koran ini,” gelakku melontarkan candaan kepada ayah yang terlihat sangat serius membaca korannya.
“Ya mau gimana lagi, habis ini koran seru sih. Ayah sih males ya baca dari apa tuh namanya. HP. Nah iya itu. Mata ayah sakit kalo kelamaan ngeliatnya,” ungkap Ayah sambil menunjukkan telepon genggam yang aku atau bahkan kebanyakan remaja selalu bawa kemanamana. Bagai tak dapat bertahan hidup tanpanya.
“Iya deh iya yah.”
Senja dilanjutkan dengan rutinitas biasa aku dan ayah memandangi matahari hingga terbenam. Ibu datang dan bergabung bersama kami. Melihat anaknya dengan tatapan penuh arti karena sangat konsisten dengan kebiasaan yang dilakukan ayahnya sejak mereka awal menikah. Aku senang melihat pakaian ibu hari ini. Luaran putih dipadukan dengan rok panjang berwarna hitam benar-benar menggambarkan ke-ayu-an dan kelembutan hatinya. Kami memandangi langit jingga hingga berganti dengan semerbak tebaran titik putih bintang yang sangat terang.
Aku tertegun. Seluruh badanku kaku di pematang jalan raya yang luas. Sore ini aku kembali memainkan bola basketku untuk mengalihkan pikiranku dari sakitnya pinggang akibat durasi duduk yang begitu lama. Siapa sangka bola basket yang aku mainkan terpantul keras mengenai papan ring dan tergelinding hingga keluar dari halaman rumah yang kebetulan pintunya memang sedang dibuka oleh ibu.
Ini pertama kalinya, bagiku untuk mendengar suara kendaraan sekeras ini lagi. Terakhir kali adalah satu tahun yang lalu. Hampir saja mobil yang berlalu lalang mengenaiku. Aku hanya bisa membulatkan mata sambil berpegang erat dengan bola basket yang kuambil. Kenangan demi kenangan kembali melintasi benakku. Ibu sudah dengan sangat paniknya berteriak dari arah dalam menuju pintu gerbang sekuat tenaga sambil memanggilku.
Aku masih tertegun dengan wajah polos dan tubuh kaku. Ibu berusaha mengguncangkan tubuhku untuk menyadarkan dari lamunan. Aku panik dan otomatis berteriak mencari ayahku. Tangis membasahi pipiku. Di menit selanjutnya yang aku tahu hanya ada teriakan dari tangis sesegukanku yang sudah tidak dapat aku tahankan lagi. Tidak berhenti aku meneriaki kata ayah berusaha sekuat tenaga mendeteksi keberadaannya. Ibu memelukku erat menggiringku masuk ke rumah untuk menenangkan pikiran yang masih terlihat shock.
“AYAH! BU AYAH MANA?” histeris, tidak ada lagi yang namanya santai disetiap kata yang kuucapkan setelah kejadian heboh pengambilan bola basket tadi.
Sunyi. Hanya suara kipas angin yang memenuhi ruangan. Aku memandang raut wajah ibu yang kini sudah setengah berkaca-kaca ingin terlanda badai dari matanya. Mukanya memerah, begitu pula dengan hidungnya. Seakan tidak kuat lagi menahan semuanya, pertahanan ibu runtuh dan ibu akhirnya ikut menangis bersamaku. Aku masih bingung dengan keadaan apapun yang kini terjadi di depanku. Kami berdua menangis sejadi-jadinya hingga mata sembab tergambar dikeduanya.
Tiga puluh menit menjadi waktu yang cukup bagi kami berdua untuk saling menenangkan diri. Ibu mulai membuka suara menceritakan kejadian yang barusan terjadi. Aku yang tidak sadarkan diri saat kejadian berlangsung hanya dapat terdiam mendengarkan apa yang akan dilontarkan ibu.
“Icca, ayah sudah gaada. Satu tahun yang lalu,” helaan nafas panjang terdengar menyertai pernyataan ibu yang dengan berat hati terpaksa harus diungkap kembali.
Aku tidak semudah itu percaya akan apa yang disebutkan oleh ibu. Aku memastikan kembali hal yang aku dengarkan mengandung informasi yang benar atau tidak. Kembali ibu mengulang kalimatnya. “Iya ca, ayah udah meninggal tahu lalu.”
Bagaikan disambar petir di depan wajah sendiri, aku tidak dapat berkata-kata saking susahnya memilih ekspresi yang mau aku sampaikan saat ini. Aku hanya dapat terdiam dan melamun mencerna semua hal yang aku terima secepat kilat ini.
Kilas balik diungkit kembali oleh ibu. Akhirnya, dengan berat hati ibu harus kembali menceritakan kejadian pahit di bulan Mei tahun 2020 lalu. Kecelakaan tragis yang menimpaku dan ayah saat perjalanan pulang. Tidak pernah ada yang menyangka kecelakaan yang begitu cepatnya terjadi akibat kelalaian pengendara sendiri. Ayah membawa motor seperti biasanya dengan aku di kursi belakang sebagai penumpang.
Belokan di sepertiga perjalanan menuju rumahku entah kenapa membawa petaka hari itu bagi keduanya. Seakan kebetulan atau bagaimana, ayah yang berbelok secara mendadak tanpa melihat ke arah kanan dan kiri dihantam oleh bus yang berkecepatan cukup tinggi yang tidak mungkin sanggup untuk tiba-tiba menghentikan peristiwa tersebut untuk tejadi.
Ayah dan aku sama-sama terpental dari motor matic yang ayah kendarai, tapi ayah mengalami luka yang lebih parah mengingat juga benturan yang diterimanya tepat mengenai bagian penting tulang tengkoraknya. Aku setengah sadar dan yang dapat aku dengar hanya suara teriakan orang meminta tolong lalu disusul sirine dari mobil ambulans.
Kejadian itu tidak pernah lagi teringat di benakku. Dokter sempat mengatakan bahkan aku menderita PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) yang berdampak dengan terpotongnya mesin waktu yang aku punya. Aku masih sama dengan Icca yang terjebak satu tahun lalu bersama ayah tercinta dan kenangannya. Tidak pernah ada yang namanya ayah yang datang menemaniku bersama mp3 kesayangannya. Tidak akan pernah ada lagi ayah yang membalikkan koran bertanggal 27 Mei 2020 itu. Semuanya terhenti, bahkan kenangannya sekalipun. Aku menangis sejadi-jadinya. Tidak pernah aku sangka bahwa aku sudah ditinggalkan oleh ayah tercinta dan yang menemaninku selama ini hanya baying-bayang kasih sayang yang tidak akan pernah aku gapai lagi.
“Ini ga mungkin bu. Ayah? Ayah? Mana ayah bu?” aku tetap keras kepala menyebut dan memanggil ayah hingga helaian rambut panjangku ikut dibasahi oleh tangis dan isakku. “Ayah ga mungkinkan ninggalin Icca? Ayah kan sayang sama Icca.”
Ibu hanya dapat memandangiku dengan tatapan sendunya. Perasaan sedih yang dirasakannya tidak kalah besar dengan yang dirasakanku. Bagaimana tidak? Pujaan hati yang sudah menghiasi hari-hari seorang wanita anggun sedari SMA ini pergi begitu saja tanpa pamit dan bahkan meninggalkan luka untuknya. Akan tetapi, ibu seperti tersadar dan beranjak melapangkan dada dengan keadaan.
“Icca, ayah itu ga pergi ninggalin kita,” ibu bergegas pergi menarik pergelangan tanganku. Menggiringku ke tempat yang tidak lain dan tidak bukan adalah ruang gambarku sendiri.
“Lihat, ayah itu tidak pernah benar-benar pergi. Ayah selalu ngawasin kamu disetiap gambar-gambar yang kamu buat.”
Isakan semakin menjadi aku keluarkan. Sejak satu tahun yang lalu, bayang-bayang wajah ayahlah yang aku gambar hingga memenuhi ruanganku. Entah ini alam bawah sadarku akan kerinduan terhadap ayah atau bagaimana, hanya saja ayah selalu memiliki tempat yang indah di dalam hatiku. Hal ini menjadi salah satu alasan tangisku mulai mereda dan aku dapat menata pikiran sedikit demi sedikit tentang memori pahit yang menimpa diriku dan ayah tanpa permisi. Aku harus menjenguk ayah.
Kemantapan hatiku akhirnya menghantarkanku ke depan sebuah papan yang bertuliskan
Kutara Maheswara dengan jelas. Disinilah tempat peristirahatan ayah untuk terakhir kalinya. Tempat ini kini menjadi salah satu tempat kesukaan yang sering aku kunjungi untuk sekedar bercerita atau menggambar ide-ide gila dipikiranku.