Derita, tanpa ceria. Kata itu sudah mampu melukiskan bagaimana batu besar terus saja menghadang kapal kehidupan milik Ni Gusti Ketut Joniasih.
“Hidup tiang (saya –red) itu pahit. Dari kecil harus kerja, cari duit, gak ada senengnya.” Begitu Ni Gusti Ketut Joniasih menggambarkan derita yang ‘mewarnai’ hidupnya sedari belia. Cobaan tak kenal lelah membuntuti kemanapun langkahnya. Bagi Tut Joni, begitu sapaannya, mengulik masa lalu seperti membuka kembali luka lama. Tetap membekas, katanya. Di usia yang belum genap enam tahun, wanita kelahiran 1967 ini mesti dihadapkan dengan pilihan sulit. Antara ikut dengan sang ayah, atau ikut dengan ibu.
Jawaban bungsu dari tiga bersaudara ini membuatnya menetap di Singapadu, rumah gadis sang ibu, Gusti Made Lueng (Alm). Berbeda dengan dua kakaknya, diasuh oleh ayah, Gusti Putu Gede (Alm), di Denpasar. Hidup mesti tetap berlanjut, meski tanpa keluarga yang utuh. Lulus dari SD Negeri 6 Batubulan, dia melanjutkan pendidikan ke SMP Dwijendra Denpasar. Demi pendidikan, Tut Joni tinggal bersama ayah di kawasan Kecubung, Denpasar Timur.
“Waktu ke Denpasar sebenarnya sedih, karena ninggalin ibu yang lagi sakit TBC,” tuturnya mengenang kembali masa itu, seraya mengalihkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Nadanya terdengar berat. Kentara ada sesak yang ia sembunyikan. Sesaat kemudian, matanya memerah dan berkaca-kaca. Sebuah parit kecil berhasil tercipta di kedua belah pipinya yang telah keriput termakan usia. Bibirnya masih kelu, tengah berusaha menegarkan hati yang kembali rapuh.
Rintikan air mata kian deras tatkala memori pahit terlintas kembali dalam benak wanita paruh baya ini. Tepat di enam bulan Tut Joni mengenyam pendidikan di Dwijendra, penyuka warna hijau ini mesti bertolak ke kampung halaman. Memupuskan segala impiannya karena terpelanting biaya SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) yang tak mampu dibayarkan lagi. Pendidikan yang pupus di tengah jalan, juga kondisi paru-paru ibunda yang termakan kuman Mycobacterium tubercolosis bak petir yang menyambarnya hidup-hidup. Cobaan tak berhenti menghantuinya.
Mau tak mau, pemilik tinggi 147 cm dengan rambut sebahu ini mengorbankan masa remajanya mematri lebih banyak tawa. Pukul 09.30 pagi, Tut Joni kecil telah siap berkelana. Segala tempat perhentian tamu domestik dan mancanegara di kawasan Sukawati ia jajaki, berbekal sebuah tas kain yang bergelantungan di pergelangan tangan kiri dan beberapa kipas kain ia genggam di kanan. Tubuh mungilnya dengan mudah memecah lautan pedagang yang antri di hadapan para wisatawan. Sekali berburu, setidaknya 50 ribu Rupiah berhasil ia kantongi. Cukup untuk biaya membeli obat sang ibu.
Semuanya berangsur normal sejenak. Hingga di suatu hari di tahun 1981, amarah kakak sepupu Tut Joni bagai petir di siang bolong. Padahal ‘ledakan’ terjadi di pagi hari. “Bangun! Mekaed-mekaed uling dini! (Pergi-pergi dari sini! –red)” pekik wanita 54 tahun ini menirukan amarah sang kakak kala itu. Seisi rumah hanya mematung, menyaksikan ‘drama’ yang ada di depan matanya. Tak ada pembelaan. Langkah Tut Joni menuju pintu gerbang tak ditahan oleh siapapun. Seolah semua rela dan ia pantas mendapatkannya. Padahal konflik hanya dipicu oleh kesalahpahaman, ia benar-benar tak melakukannya.
Di usia yang baru menginjak 14 tahun, Tut Joni mesti angkat kaki. Hanya berbekal sepasang pakaian yang dikenakannya pagi itu. Semesta kembali memisahkannya dengan sang ibu yang semakin memperihatinkan. Arah hidupnya kian tak menentu. Berjalan cukup jauh ke arah Selatan dari rumah itu menjadi opsi terakhir. Entah dimana ia akan tinggal, Tut Joni pun tak tahu. Dirinya hanya fokus berjalan tanpa tujuan. Baru kali ini dewi fortuna menyertainya, Pekak Suda datang sebagai pahlawan, mengajak Tut Joni untuk tinggal di kediamannya sementara. Namun keberuntungan hanya ampuh sampai di sana. Persoalan baru muncul lagi.
“Gung Niang (sebutan bagi ibu Tut Joni –red) terus muntah darah, harus diopname di RS Wangaya,” cerita Gusti Made Karyani, sanak saudara Tut Joni. Tut Joni terperanjat. Pikirannya langsung tertuju pada biaya pengobatan. Lebih-lebih dokter mengatakan, butuh pengobatan rutin selama enam bulan untuk menyembuhkan penderita TBC. Tut Joni tak bisa tinggal diam. Dirinya mesti bekerja lebih keras. Berdagang souvenir keliling hingga menjadi buruh bangunan, semua Tut Joni lakoni demi kesembuhan ibunya. Namun sayang, pendapatannya belum menutupi separuh biaya pengobatan. “Akhirnya tiang bantu sedikit, 50 ribu,” tutur Karyani. Kekurangannya Tut Joni akali dengan menjual beberapa perhiasan yang masih tersisa.
Sedikit angin segar berhembus, kondisi ibunya berangsur membaik. Berselang beberapa hari, sang ibu kaget bukan main. Tanah milik leluhurnya di kawasan Banjar Tegal Jaya diam-diam dijual oleh keluarga. Kondisi yang berangsur pulih seketika drop kembali. Memaksa ibunda terbaring lemah lagi di atas tikar kamar. Ya, kamarnya hanya beralaskan tikar anyaman. Jangankan membeli kasur empuk, untuk makan pun masih belum tentu. Tut Joni bahkan belum puas memandangi senyum sang ibu selepas keluar dari rumah sakit. Sebagai gantinya, kini justru memandangi ibu yang kembali terkulai lemas. Membuat Tut Joni tertegun, tawa dan bahagia memang bukan miliknya. Berselang dua minggu sejak tragedi itu, ibunda – Gusti Made Lueng menghembuskan napas terakhir di kamar tidurnya. Isak tangis Tut Joni tak dapat dibendung, meratapi hidup yang tak pernah mengenal kebahagiaan.
Tut Joni terlalu banyak menelan pil pahit dalam hidupnya. Kehilangan figur seorang ayah, kehilangan masa kecil seperti anak-anak kebanyakan, dan kini semesta merampas malaikatnya di dunia. Betapa kejam hidup ini. Segala hal yang ia korbankan sedari kecil tak kunjung berbuah manis. Hanya derita yang ia cicipi membuatnya ragu akan kata pepatah, “Semua akan indah pada waktunya”. Tapi itulah hidup. Tak dapat direncanakan dan diatur sesuai keinginan kita. “Walaupun sudah ikhlas, tapi tetap membekas,” pungkasnya sembari menyeka setitik air yang terjun di pipi. (cit)