Seiring berkembangnya teknologi, kasus perundungan pun turut menghantui dunia maya. Tak hanya di dunia nyata, aksi bullying kerap terjadi pada media sosial yang kini banyak digandrungi milenial.
Dewasa ini perkembangan teknologi yang semakin pesat membuat setiap orang mau tak mau beradaptasi dengan media digital. Apalagi di masa pandemi Covid-19 ini adanya pembatasan jarak sosial mengakibatkan orang-orang perlu mengurangi interaksi secara langsung. Adanya media sosial sebagai wadah interaksi dalam jaringan tak serta merta membawa dampak positif saja, tentu ada dampak negatifnya seperti cyberbullying yang kini seolah menjadi tren.
"Menurut saya di zaman sekarang, zaman di mana media sosial sudah seperti konsumsi sehari - hari, cyberbullying semakin sering terjadi, terutama dalam bentuk komentar kebencian. Karena kemudahan untuk membuat dan mengikuti, saat ini pun sudah banyak pengguna media sosial yang masih belum cukup umur, mereka belum seharusnya mengenal media sosial. Kemudahan tersebut tentunya juga mempermudah dilakukannya cyberbullying,” ujar Putu Difva Syaditha Purnama (15), salah satu siswi SMAN 1 Denpasar saat diwawancarai via online oleh Tim Madyapadma pada Selasa (02/02).
Penggunaan gadget yang berlebihan dan kurangnya pengawasan dari pihak-pihak berwenang serta kurangnya edukasi untuk bijak menggunakan media sosial menjadi faktor pendorong aksi cyberbullying ini. Hal serupa juga diungkapkan oleh I Dewa Gede Alit Dwija, S.Pd (59) selaku guru Bimbingan Konseling di SMAN 3 Denpasar. "Saking bebasnya medsos dan tidak adanya tindakan tegas dari aparat jika ada yang melanggar,” tutur Alit Dwija.
Cyberbullying tentu membawa dampak terutama bagi korbannya. Menurut Komang Asti Widiari Suari (43), salah satu orang tua siswa SMAN 3 Denpasar, cyberbullying memiliki jangkauan yang lebih luas karena lebih banyak publik yang dapat melihat atau membaca apa isi bullying sehingga berdampak bagi mental korbannya. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman Ni Made Devayani Saraswati Beratha (16) yang mengaku pernah mengalami hal tidak menyenangkan, yakni cyberbullying sewaktu SD. "Untungnya waktu itu nggak terlalu parah, cuma aku ngerasa sakit hati sama sedih banget soalnya mereka yang bully aku udah temenan dari lama sama aku, tapi tiba-tiba jauhin aku nggak tau kenapa. Pokoknya waktu itu aku sampai kaya nggak mau dan nggak mood sekolah gitu sama jadi lebih sering menyendiri," cerita Devayani Saraswati. Devayani Saraswati sendiri saat itu berusaha bangkit agar tak terus menerus tertindas. "Cara bangkit lagi, untungnya aku nggak benar-benar sendirian saat itu. Walaupun teman dekatku memang cuma mereka, tapi teman yang lain banyak juga yang tau kalau mereka semacam ngucilin aku jadi mereka bantu lah nemenin aku gitu," imbuhnya.
Edukasi tentang penggunaan teknologi dan media sosial secara bijak sangat diperlukan untuk mengurangi cyberbullying ini. Hal tersebut bisa dimulai dari lingkup terkecil di rumah. "Sebagai orang tua, yang saya lakukan terhadap anak adalah memberitahu cara dan tata krama dalam bersikap di medsos atau media yang lain agar tidak menyinggung perasaan seseorang," kata Ni Ketut Sri Mulyawati, ST (46). Sri Mulyawati juga berpesan kepada pengguna media sosial agar lebih bijak lagi dalam memanfaatkan media tersebut.(jyt)