Oleh: Putu Masayu Cahyaning Lestari
Menanggapi tulisan Ni Ketut Ayu Fitarini dan I Gusti Ayu Agung Citra Perama Devhi
Langit akan selalu menjadi saksi. Lembaran dalam buku sejarah yang akan menuliskannya. Begitulah siklus perjuangan hidup dalam negeri ini. Nusantara, sebutannya. ‘Nusantara’ menjadi kata yang paling cocok untuk disebut bila ingin membicarakan perjuangan hidup dan segala problematika negeri ini. Entah bagaimana, kata ‘Indonesia’ terasa belum dapat seutuhnya mengungkap perjuangan hidup yang ada di dalamnya. Nusantara seakan memiliki kesan sakral. Ada banyak cerita sejarah yang turut mewarnai kata Nusantara itu sendiri. Bagaikan sebuah jiwa dan raga, Nusantara adalah jiwanya, sedangkan Indonesia adalah raganya. Sebuah raga tanpa jiwa tak akan berarti dan tak akan mampu tumbuh. Begitu pula sebaliknya. Nusantara akan berarti apabila Indonesia mampu bergerak dan melangkah, dan Indonesia akan berarti menjadi sebuah negara apabila Nusantara terukir di dalamnya. Itulah yang membentuk wujud Indonesia yang sebenarnya. Wujud yang tidak dapat lahir maupun berdiri sendiri.
Segala sesuatu yang terlahir akan selalu diikuti oleh sebuah penyebab. Nusantara pun begitu. Nusa dan antara. Nusantara dapat lahir karena ada sesuatu di antara pulau-pulau itu. Tentunya jauh sebelum ada sebutan bagi negara ini, Indonesia. Kilas balik sejarah, Nusantara sering diulas ketika masa pemerintahan Kerajaan Majapahit. Namun menilik dari tulisan Nibras Nada berjudul “Asal Usul Istilah Nusantara” dimuat di Kompas pada 15 Februari 2020, istilah Nusantara baru diangkat kembali oleh tokoh pahlawan nasional, Ki Hajar Dewantara, setelah lama dilupakan. Ini menandakan bahwa Nusantara memang jiwa aslinya Indonesia. Dan benar, ada sesuatu di antara pulau-pulau itu yang membuat Nusantara menjadi jiwa aslinya Indonesia. Pada masa perjuangan kemerdekaan, misalnya. Ketika peran para pemuda bangsa berjuang demi mengusir para penjajah. Tidak ada rasa gentar yang dirasakan. Tidak ada rasa malu dari mereka yang berjuang dengan senjata sebatas bambu runcing. Mengutip dari tulisan Ni Ketut Ayu Fitarini berjudul “Indonesia Dulu dan Kini: Perjuangan Tidak Pernah Berdiri Sendiri,” memang betul faktanya terlihat bahwa para pemuda kala itu tidak berpikir apakah mereka akan tetap mati atau hidup. Satu yang tertanam dalam jiwa mereka saat itu hanyalah keinginan untuk merdeka dan bebas dari penjajah. Dan inilah yang masih tertanam dan terasa dalam kata Nusantara itu sendiri. Peran para pemuda dengan keinginan untuk merdeka dan bebas dari penjajah. Entah dari generasi dahulu ke generasi saat ini. Jiwa para pemuda itu seakan tongkat estafet yang harus digelorakan dengan semangat membara. “Sekali merdeka, tetap merdeka,” katanya.
Pemuda itu bak tinta hitam yang sulit untuk dihilangkan dalam aliran darah rakyat Nusantara. Dari generasi ke generasi, pemuda akan selalu menjadi garda terdepan merancang dan menerima perubahan. Mereka pada dasarnya dituntut berjuang mempertahankan apa yang ada dalam genggaman mereka. Maka, sudah tidak asing lagi bila para pemuda dituntut untuk memahami segala problema negeri. Tentu bila demikian, pemuda akan dituntun untuk keluar dari zona nyaman mereka. Untuk memberi perhatian lebih dan mengusulkan pandangan perubahan. Saya sedikit tidak menyetujui dengan pendapat bahwa pemuda dapat bertahan dan melebarkan zona nyaman kita. Mungkin hal tersebut juga penting untuk pemuda mendalami apa yang mereka minati. Namun dari kacamata yang berbeda, pemuda harus mampu keluar dari zona nyaman mereka. Entah atas keinginan diri sendiri atau memaksa diri sendiri, asalkan tindakannya untuk tujuan yang pasti. Keluar dari zona nyaman bukan berarti membuat pemuda itu akan kehilangan kreativitasnya. Katanya, pemuda itu penuh kreasi bukan? Jadi kalau ada pemuda yang berkarya untuk menyerupai seseorang yang dikagumi saja, maka dapat dipastikan mereka masih belum berani untuk keluar dari zona nyaman. Keluar dari zona nyaman itu akan bermakna ‘menjadi yang berbeda.’ Pemuda yang masih bertahan di zona nyaman justru terasa seperti pemuda yang belum siap menerima perubahan. Maka dari itu, pemuda seharusnya dituntun perlahan untuk keluar dari zona nyamannya. Menilik perjuangan pemuda untuk kemerdekaan Indonesia, jiwa pemuda untuk merdeka dan terbebas dari penjajah timbul karena keinginan mereka untuk keluar dari zona nyaman mereka. Mana mungkin mereka mau ditindas terus menerus oleh para penjajah. Bagaikan kutipan ‘Habis Gelap Terbitlah Terang,’ rasa keberanian pemuda untuk melawan penjajah itulah yang membuat peran pemuda dalam memerdekakan Indonesia sangat besar. Keluar dari zona nyaman itu penting. Terlebih bagi generasi muda sekarang yang dituntut ‘melek’ terhadap problematika dalam negeri.
Milenial sebagai nahkoda kapal Indonesia. Begitu istilah kiasan yang digambarkan oleh I Gusti Ayu Agung Citra Perama Devhi dalam tulisannya berjudul “Milenial, Nahkoda Kapal Indonesia.” Singkatnya, milenial merupakan nama akrab yang sering disematkan pada pemuda era digitalisasi ini. Pemuda yang membawa kunci perubahan bangsa. Memang betul milenial adalah nahkoda yang memiliki tujuan untuk memulihkan Indonesia. Dan ada banyak juga peran milenial yang dibutuhkan untuk mengisi Indonesia sebenarnya. Pada dasarnya, milenial sebagai pemuda masa kini seharusnya masih memiliki aliran darah kental dengan rasa kepemudaan Indonesia sebenarnya. Dengan jiwa merdeka dan terbebas dari segalanya. Nyatanya, tuntutan milenial untuk melek terhadap problema negeri bukan lagi urusan yang pertama. Posisi itu sudah tergantikan dengan alasan keresahan milenial melihat problema negeri. Maka jangan disalahkan bila milenial dengan spirit mudanya turun memenuhi jalan untuk menuntut keadilan. Jiwa kepemudaan Indonesia masih ada dalam diri milenial. Mereka ‘resah’ melihat problema negeri yang menuntut diri mereka untuk melakukan perubahan, tetapi segala langkah mereka dihentikan. Segala ucapan mereka dibungkam. Entah di dunia digital maupun ruang publik. Ruang berdialog pun rasanya sulit mereka dapatkan, padahal mereka sudah berusaha keras menuntut itu dari awal. Permasalahannya sekarang bukan melihat apakah perjuangan mereka itu percuma atau tidak. Tetapi lihatlah dari sisi, apakah perjuangan milenial sudah mendapatkan jawaban yang pasti atau tidak. Petisi atau ruang dialog di publik rasanya jarang didapatkan oleh para milenial. Mengkritik pun rasanya mereka dibatasi dengan ketat dalam kalimat “Kritik ya harusnya membangun”. Pembungkaman ini lama-lama akan semakin mengakar. Tetapi lihat bila milenial sebagai pemuda turun menyuarakan suara di hadapan gedung-gedung bernama pemerintah itu, mereka hanya ingin menyuarakan suara dalam menuntut keadilan. Itu satu-satunya jalan yang mereka dapat tempuh, walau bukan jalan yang terbaik. Satu-satunya jalan untuk menuntut yang lebih dari para pemangku kebijakan. Walaupun sebagian besar jawaban yang diterima para pemuda adalah kosong alias tak ternilai. Namun setidaknya suara pemuda sebagai garda terdepan masyarakat dipertimbangkan dalam keputusan publik. Buktinya, sudah ada beberapa kebijakan yang akhir-akhir ini diterbitkan dengan menyesuaikan suara para pemuda. Kalau bukan dengan turun ke jalan, ibaratnya pemuda tidak lagi mendapatkan ruang untuk berekspresi. Apatis, katanya. Jadi, aksi unjuk rasa tidak sepenuhnya percuma. Tujuan pemuda melakukan itu adalah untuk menuntut keadilan, merdeka, dan kebebasan dalam etika yang pasti. Seperti kutipan bermakna dari Tan Malaka, “Kalau sistem itu tak bisa diperiksa kebenarannya dan tak bisa dikritik, maka matilah Ilmu Pasti itu.”
Pemuda adalah energi bangsa yang akan terus mengalir dari generasi ke generasi. Mereka dituntun dan dituntut untuk menyikapi segala problematika negeri. Dengan jiwa Nusantaranya, di bawah nama Indonesia. Satu hal yang pasti. Untuk pemuda melangsungkan tugasnya memulihkan Indonesia atau merubah masa depan bangsanya, pemuda harus memiliki pematangan konsep diri. Konsep ‘Berdikari’ atau berdiri di atas kaki sendiri. Itulah konsep diri yang harus dimiliki oleh para pemuda. Mereka harus memiliki karakter pejuang yang tak kenal takut dan berani menyuarakan pemikiran mereka. Mereka tak takut untuk berubah dan dikatakan dengan berbagai istilah sekalipun. Bagaimanapun hambatan yang mereka hadapi dalam mempertahankan kemerdekaan yang ada, maka dengan konsep berdikari mereka dapat mengoptimalkan usaha untuk mempertahankan kemerdekaan itu. Bagaimanapun langkah mereka dihentikan, mereka harus mampu berdiri di atas kaki sendiri dan tidak mendengar ujaran negatif di sekitarnya. Bagaimanapun suara mereka dibungkam, mereka harus mampu berujar terus menerus dengan lantang dan keras, seperti suara pemuda yang menyuarakan sumpah pemudanya. Biarlah pemuda melangkah dengan kakinya sendiri, kemanapun arahnya, tujuan mereka hanya untuk kemajuan negeri mereka sendiri. Mereka hanya perlu diingatkan dan dibenahi jalannya saja. Jangan salahkan tindakan mereka menuntut lebih. Katanya, mereka membawa perubahan bangsa. Jadi setidaknya berikan mereka sedikit kesempatan untuk melangkahkan kaki mereka menuju rancangan perubahan tahap demi tahap. Hanya dengan itu, pemuda dapat berlatih untuk berdiri di atas kaki sendiri meski diterpa oleh badai sekalipun.