Oleh Ni Ketut Ayu Fitarini
Menanggapi tulisan : I Gede Abhijana Prayata Wistara dan Putu Jyotira Dias
Arus digitalisasi dan kecanggihan teknologi yang tiada henti, menuntut seluruh lapisan orang di Bumi untuk menerima hal ini. Tak luput Indonesia. Negeri Kepulauan terbesar dengan ribuan pulau dan penduduk tak terkira jumlahnya. Wilayahnya yang terpisah-pisah juga menjadi tantangan lebih bagi Pemimpin Indonesia sendiri. Memastikan bahwa setiap pulau di Indonesia menjadi satu kesatuan yang damai dan bertoleransi. Bukan hanya wilayahnya. Budaya, adat istiadat, suku, agama, ras, dan keberagaman lainnya juga tersebar di seluruh Indonesia. Tak khayal, setiap wisatawan yang berkunjung di Indonesia merasa tidak bosan dengan negeri ini karena keberagaman dan keindahan yang dimiliki.
Perkembangan dan kemajuan teknologi yang tengah kita nikmati saat ini, tentunya memberi banyak manfaat dan semakin melebarkan sayap Indonesia itu sendiri. Seperti teknologi yang paling diterima keberadaannya secara universal yaitu teknologi komunikasi. Bayangkan bagaimana kehidupan masyarakat sebelum mengenal yang namanya gawai, komputer, laptop, dan semacamnya. Tentu sarana komunikasi mereka dahulu hanya menggunakan telegraf, surat menyurat, bahkan dahulu memanfaatkan hewan sekalipun yaitu merpati.
Teknologi juga mempermudah diri kita untuk saling bertukar maupun untuk menyebarkan sebuah informasi. Jika kita hidup berabad-abad yang lalu, tidak dapat dipungkiri betapa sulitnya untuk mencari informasi dari satu negeri ke negeri lainnya. Bisa saja, informasi dulu hanya disebarkan mulut ke mulut. Namun, kini berbeda. Informasi dengan mudah kita dapatkan. Bahkan kita sekarang bisa tahu berita pernikahan putri Mako di Jepang, berita konflik Amerika dengan China, informasi ter-update idol di Korea, dan informasi lainnya di seluruh dunia.
Bukan hanya itu, teknologi kini juga berkembang di bidang transportasi. Kita kini tidak perlu merogoh kantong untung membeli kuda, berlayar dengan kapal di tengah kuatnya arus ombak berhari-hari untuk menjelajahi dunia, menginap beberapa hari untuk menaiki kereta yang jalannya lambat, dan lainnya. Hebatnya lagi, dengan teknologi-teknologi yang sudah tersedia di hadapan kita saat ini, kita hanya perlu beli tiket pesawat terbang atau kereta cepat. Beberapa jamnya, kita sudah berada di negara lain. Untuk menempuh daerah satu ke daerah lainnya pun kita biasanya hanya menempuh beberapa menit dengan sepeda motor atau mobil.
Tentu masih banyak lagi kemajuan-kemajuan teknologi yang bisa dibilang menjadi privilege untuk kita semua, khususnya generasi milenial yang jauh lebih mengerti pemanfaatan teknologi itu sendiri. Generasi milenial menjadi sasaran empuk kemajuan teknologi. Bagaimana tidak? Dari segi keberanian untuk mencoba hal baru, sikap itu sebagian besar hanya dimiliki oleh kawula muda. Generasi milenial jauh dari kata-kata pasif jika membahas teknologi. Tidak ada anak muda sekarang yang tidak mengerti cara menonton video di Youtube, memposting foto di Instagram, mendengar musik di gadget mereka, dan lainnya. Lalu, bagaimana kebermanfaatan teknologi ini untuk negeri, selain untuk diri sendiri?
Sama halnya dalam tulisan Jyotira. Begini kutipannya “Zaman semakin modern. Teknologi semakin berkembang. Karya - karya para generasi milenial bahkan semakin unik dan menarik dengan memanfaatkan berbagai teknologi. Baik melalui tulisan berupa puisi, cerita, atau gambar berupa karikatur, kartun, bahkan melalui konten di media sosial, dan karya - karya lainnya. Tentu hal itu dapat dimanfaatkan” Saya setuju dengan tanggapan ini. Saya bahkan 100% setuju. Dengan perkembangan teknologi yang ada, kita bisa menjaga dan merawat Indonesia, kita dapat membawa Indonesia kembali ke jalan yang benar sesuai dengan isi dan nilai-nilai ideologi negara kita yaitu Pancasila. Teknologi tentunya dapat membawa kembali cahaya pemuda-pemuda Indonesia. Misalkan berlomba dengan skala dunia, tentunya Indonesia kian waktu semakin dilirik oleh mancanegara.
Namun, tidak semua pemuda di Indonesia memiliki keinginan untuk bersua melalui teknologi yang sudah disediakan sekarang. Dalam tulisan Jyotira disebutkan, “Asal kembali seperti yang disebutkan sebelumnya, mengkritik lah sesuai etika yang baik dan benar”. Namun, hal itu seakan-akan hanya berlaku untuk mereka yang mau mengkritisi problema di Indonesia. Sehingga, bagaimana dengan mereka yang hanya bertindak apatis terhadap persoalan di negeri ini? Bagaimana dengan mereka yang hanya bisa menyukai dan menyebarkan konten-konten yang bahkan memberi dampak buruk bagi negeri ini? Bagaimana tahap awal yang harus dilakukan untuk memancing niatan individu mengkritik negeri ini dengan cara mereka sendiri?
Ini lah tantangan baru kita sebagai “agent of change”. Kita, generasi milenial memegang tampuk besar untuk merubah Indonesia ke arah yang lebih baik. Namun, bagaimana dengan pemuda-nya itu sendiri? Apakah sudah pantas untuk menjadi agen perubahan Indonesia? Apakah pemuda Indonesia sudah mampu mengendalikan teknologi yang kini bagai melilit jati diri pemuda itu sendiri?.
Tentu tidak semua generasi milenial Indonesia memiliki dorongan hati untuk mengkritisi Indonesia dengan memanfaatkan keberadaan teknologi. Teknologi dapat menciptakan ruang-ruang sempit yang membatasi generasi milenial Indonesia dengan lingkungan serta perubahan-perubahannya. Mereka kian membatasi diri dan lama kelamaan menjadi acuh atau apatis dengan keberadaan orang lain dan persoalan negeri. Contoh sederhananya, seorang remaja lupa makan, lupa mengerjakan tugas, lupa membantu orang tua hanya karena bermain gim. Selain itu, banyak remaja-remaja yang mengikuti konten-konten aneh seperti prank, joget-joget tidak keruan, memukul pohon-pohon pisang di lingkungan sekitar, dan semacamnya. Hal itu hanya demi konten, like, dan diri mereka yang kian terkenal. Apakah hal itu sudah menggambarkan pemuda Indonesia yang memanfaatkan teknologi dengan baik?
Kini sudah jelas, teknologi tentu memberi sisi hitam dan putih bagi pemuda Indonesia. Untuk mereka yang tidak bisa mengendalikan kemudi teknologi itu sendiri, terpaksa terjerembab dengan konten viral yang hanya sesaat dan memberi nihil upaya untuk Indonesia. Kita tidak bisa menyuruh teknologi untuk sepenuhnya memberi sisi putih, sisi cerah, sisi kemajuan untuk negeri ini. Namun, diri kita sendiri lah yang harus pandai-pandai menerima segala bentuk kemajuan teknologi. Caranya dengan berpikir kritis.
Abhijana menyebutkan “Perkembangan teknologi komunikasi dapat memudahkan lalu-lintas penyebaran informasi, tidak peduli apa informasi tersebut. Disinilah kemampuan critical thinking diperlukan. Maka dari itu, critical thinking merupakan salah satu kemampuan yang perlu diasah generasi milenial dalam perjalanannya untuk meraih aspirasi bangsa”. Mulai dari detik ini, pemuda Indonesia harus mempraktekkan critical thinking atau berpikir kritis dalam menerima segala informasi khususnya di jejaring sosial media. Dengan sikap berpikir kritis ini, kita dapat memilah mana yang sepantasnya dimanfaatkan untuk merawat Indonesia, untuk menjaga Indonesia, dan untuk memajukan bangsa kita bangsa Indonesia.