Oleh : Pande Putu Puspaning Ayu Agustin
Tanggapan untuk tulisan I Gusti Ayu Agung Citra Perama Devhi dan Ni Ketut Ayu Fitariani
Seperti yang dikatakan oleh I Gusti Ayu Agung Citra Perama Devhi dalam tulisannya bahwa “Generasi Milenial kerap pula di-cap sebagai nahkoda kapal Indonesia. Sang pemegang kemudi setir penentu arah masa depan.” Saya sangat setuju dengan istilah tersebut. Kenapa? Karena Indonesia ibarat kapal yang mengarungi lautan menuju tempat tujuannya dengan berbagai rintangan tak terduga. Sementara generasi muda sebagai nahkoda yang akan membawa dan menyelamatkan kapal tersebut dari segala terjangan badai. Kemana tujuan Indonesia dalam mengarungi lautan kali ini? Hanya nahkodanya lah yang tau.
Sebagai seorang nahkoda, tentu tak akan lepas dari kendala yang namanya kerusakan kapal. Entah rusak karena faktor internal maupun eksternal. Internal dan eksternal disini artinya, konflik Indonesia yang terjadi akibat rakyatnya sendiri dan konflik Indonesia yang terjadi akibat dari luar negara. Sekarang tinggal bagaimana peran nahkoda dalam mengatasi kerusakan kapalnya sendiri.
Memang benar, bahwa milenial dan teknologi ibarat dua sejoli. Apapun langkah milenial mengemudikan kapal Indonesia, tak akan terlepas dari peran serta teknologi. Kalau kata orang sih, FwB “Friend with Benefit” Artinya, jika kita ibarat sejoli dengan teknologi, maka seharusnya kita mampu memanfaatkan teknologi tersebut untuk turut berperan dalam menentukan dan memulihkan nasib bangsa untuk saat ini. Misalnya dalam menanggulangi hantaman pandemi Covid-19 sekarang. Apalagi, selama Pandemi, nasib perekonomian Indonesia khususnya Bali berada di ambang kebocoran. Tak ada pilihan lain selain berjuang atau hanyut terbawa air laut.
Maka dari itulah, disini peran kita sebagai nahkoda kapal Indonesia mencari solusi bagaimana cara menambal kapal yang akan bocor tersebut dengan memanfaatkan sejoli kita yaitu teknologi. Salah satunya dengan melahirkan bisnis start up. Atau Perusahaan rintisan yang baru beroperasi dan masih berada pada fase pengembangan untuk menemukan pasar dan mengembangkan produk yang biasanya berbasis digital.
Saya sependapat dengan Citra, bahwa memang benar usaha seperti ini sangat cocok dengan generasi milenial yang lahir di tengah perkembangan arus teknologi informasi dan komunikasi modern yang telah mendominasi. Ditambah lagi saat sedang pandemi seperti ini, intensitas penggunaan barang atau benda teknologi meningkat drastis. Jadi, sudah tak perlu diragukan lagi bagaimana generasi ini berinteraksi dengan dunia digitalisasi serta memahami seluk beluk teknologi. Peluang ini diharapkan mampu dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mengambil peran dalam proses perbaikan kebocoran kapal Indonesia.
Meskipun perkembangan teknologi berperan penting dalam perbaikan kapal, tapi mereka juga membawa dampak negatif bagi Indonesia. Tergantung bagaimana cara kita menggunakannya. Terutama dalam bermain media sosial. Seperti menjamurnya hoax, saling fitnah di forum media social, penipuan, hingga bullying. Jika hal ini lazim terjadi, maka belum setengah jalan kapal Indonesia sudah dipastikan akan karam.
Akan tetapi, kendaraan kapal tentu tidak hanya terdiri atas satu masalah saja. Bisa saja terjadi korsleting di dalamnya atau masalah lainnya. Begitupun dengan Indonesia. Dapat dibayangkan, sebuah kapal yang hanya terdiri dari ratusan hingga ribuan orang saja dapat terdiri dari berbagai masalah. Apalagi sebuah negara yang penduduknya mencapai angka ratusan juta. Sudah pasti tak hanya masalah ekonomi saja yang menjadi polemik bangsa Indonesia. Namun, ada banyak masalah di luar sana, soal kemiskinan, pendidikan, politik, dsb.
Lantas, apa yang dapat kita lakukan? Bersatu. Satu kata berjuta makna. Bayangkan saja jika sesama nahkoda tak mau bersatu, saling musuhan dan bersaing, maka mereka pasti akan saling bertabrakan ingin menghancurkan kapal satu sama lain. Begitupula dengan pemuda di Indonesia. Bagaimana kapal Indonesia mencapai tempat tujuannya, jika di tengah-tengah jalan mereka saling bertabrakan? Belum apa-apa sudah hancur. Lama kelamaan kita tak lagi berperang dengan musuh, tapi saudara sendiri. Jadi, ayolah kita bersama-sama bersatu. Karena, sesama nahkoda juga harus bersatu. Sama seperti peristiwa sumpah pemuda yang juga menggambarkan bagaimana para pemuda dari seluruh wilayah Indonesia, dari berbagai Jong di Indonesia saling berkolaborasi menciptakan tujuan dan cita-cita para pemuda Indonesia.
Setuju sekali dengan pendapat Ni Ketut Ayu Fitariani bahwa benar perjuangan kita saat ini lebih mengarah ke kemampuan kita melihat peluang dan peran dalam diri kita untuk Indonesia. Bagaimana saat ini nahkoda kapal Indonesia mampu merawat kapalnya sendiri mencapai titik tujuan. Banyak sekali langkah yang dapat dimulai. Apalagi dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada.
Tetapi, disisi lain saya kurang setuju dengan salah satu pendapat Fita. Karena, bagi saya istilah keluar dari zona nyaman 100% tepat dan penting untuk pemuda Indonesia. Kenapa? Karena dengan keluar dari zona nyaman, kita dapat mengexplore dan menggali lebih dalam hal-hal yang belum pernah kita sentuh sebelumnya. Contoh sederhananya saja, misalnya zona nyaman kita adalah sikap ‘malas’. Masa sikap tersebut mau kita kembangkan dan lebarkan? Tidak bukan? Kalau sikap malas itu kemudian kita kembangkan, ya hasilnya akan sama saja nihil. Maka dari itu, pentingnya kita untuk memaksakan diri keluar dari zona nyaman. Memang, di awal-awal terasa sangat susah, tapi jika dari rasa sulit itu kita mampu lebih berkembang, kenapa tidak?
Terlepas dari itu, memang benar bahwa Indonesia saat ini membutuhkan kita, generasi muda milenial Indonesia. Sikap saling menghargai dan menghormati sangatlah penting untuk dimiliki. Dengan sikap ini, pemuda Indonesia juga mampu menerima keberagaman di Indonesia serta sikap saling memahani satu sama lain. Bersatu disini bukan berarti dengan melakukan demonstrasi atau membuat kerusuhan. Tapi, seorang nahkoda yang mengendarai kapal hendaknya berpikiran kritis dan bijaksana. Tak perlu berbondong-bondong menyerbu gedung-gedung pemerintah. Lebih baik kritiklah dengan karya. Seperti yang diajarkan oleh Madyapadma untuk saya. Entah sebuah lagu, tulisan, dll yang jauh lebih berkelas. Selain menghasilkan karya, pihak yang dikritik pun dijamin lebih tertohok. Karena, seekor singa tak perlu menunjukkan taringnya pada musuh. Tapi dengan menunjukkan betapa siaganya mereka menghadapi musuh, niscaya akan meluluhlantahkan musuh tersebut.