Pada 19 Juni kasus positif COVID-19 melonjak di Bali. Kemudian 2 Juli penambahan pasien positif COVID-19 meroket mencatat rekor tertinggi. Kedua lonjakan itu terjadi pada sasih Sadha dan Sasih Karo pada kalender Bali. Adakah pengaruhnya sasih pada pelonjakan kasus positif Covid-19?
Grafik perkembangan COVID-19 pada Selasa (16/6) terlihat mulai mengalami peningkatan. Lantas, tiga hari setelahnya terjadi lonjakan tahap pertama. Jumat, (19/6) Bali mencatat penambahan 81 pasien terinfeksi virus Sars-CoV-2. Kemudian pada Rabu, (1/7) lagi-lagi jumlah pasien positif meningkat drastis. Benar saja, keesokan harinya yakni Kamis (2/7), Bali pecah rekor peningkatan pasien terjangkit COVID-19 terbanyak. Penambahan pasiennya bahkan mencapai angka 113 orang.
Siapa sangka, perhitungan sasih di Bali ikut andil dalam lonjakan-lonjakan kasus COVID-19 tersebut. Terhitung dari Senin, (22/5) hingga Jumat (19/6) merupakan sasih sadha ngunya sadha. Karakteristiknya, suhu di udara biasanya terasa dingin. Selaras dengan hal tersebut, kelembapan udaranya pun rendah. Kemudian sasih kasa ngunya kasa pada Sabtu (20/6) sampai Senin (20/7). Pada sasih kasa ngunya kasa udara pun terasa dingin, kelembapannya juga rendah. Begitu pula dengan kondisi sasih karo ngunya sadha yang cirinya juga dingin, berbanding lurus dengan kelembapannya. Sasih karo ngunya sadha terhitung dari Selasa (21/7) sampai Selasa(18/8).
Lantas bagaimana benang merahnya? Usut punya usut, virus Sars-CoV-2 lebih mudah berkembang ketika suhu rendah juga saat kelembapan rendah. Seperti halnya yang diungkapkan oleh dr. Ni Komang Mila Astuti (30) “Mempertimbangkan bukti ilmiah yang ada, penyebaran COVID-19 tampaknya lebih rendah di iklim hangat dan basah. Namun, kepastian bukti yang dihasilkan dinilai rendah. Selain itu, suhu dan kelembapan saja tidak menjelaskan sebagian besar variabilitas wabah COVID-19. Kebijakan mengenai isolasi publik, kekebalan sistem imun setiap orang, pola migrasi, kepadatan penduduk, dan aspek budaya mungkin secara langsung mempengaruhi bagaimana penyebaran penyakit ini terjadi,” papar dr. Mila Astuti. Tentunya kondisi ideal virus untuk bertahan hidup sesuai dengan karakteristik ketiga sasih tersebut. Maka tak heran, memasuki pertengahan Juni lonjakan kasus COVID-19 tak terkendali. Sesuai grafik perkembangan pasien positif COVID-19, tepat di penghujung sasih sadha ngunya sadha terjadi lejitan tahap pertama.
Tak berhenti sampai di sana, sasih ternyata juga berpengaruh pada tingkat kematian akibat COVID-19. Selama sasih sadha ngunya sadha tercatat 4 (empat) pasien COVID-19 menghembuskan napas terakhirnya. Yang sebelumnya catatan kematian Bali hanya sebanyak 4 (empat) orang, selama sasih sadha ngunya sadha total kasus kematian di pulau dewata menjadi 8 (delapan) orang. Berlanjut ketika sasih kasa ngunya kasa, satu per satu pasien terjangkit virus Sars-CoV-2 berjatuhan tak kira-kira. Bayangkan saja, pada sasih kasa 37 nyawa pasien positif di Bali terenggut, sehingga seluruhnya menjadi 45 orang. Kemudian, memasuki sasih karo ngunya sadha hingga Selasa (4/8) setidaknya COVID-19 telah mengambil 12 nyawa. Alhasil total kematian di Bali menjadi 49 orang.