Di tengah terjangan badai COVID-19 pemerintah dengan sigap membuat berbagai kebijakan. Boleh jadi setelahnya beberapa sektor perlahan mendapat angin segar. Namun akankah kebijakan tersebut menjamin keamanan anak-anak atau malah sebaliknya?
Beberapa saat yang lalu, pemerintah mengeluarkan surat edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) COVID-19 Nomor 9 Tahun 2020 terkait Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang Dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Dibukanya akses perjalanan di tengah daftar panjang kasus COVID-19 dikhawatirkan akan berdampak pada lonjakan-lonjakan pasien. Seperti halnya kebijakan mengenai sekolah tatap muka yang telah menjaring anak-anak ke dalam rentetan kasus COVID-19. Hingga (2/8) lalu, menurut data kementrian kesehatan Indonesia kematian anak usia 0 hingga 5 tahun meningkat menjadi 1%. Begitu pula dengan persentase kematian anak usia 6 hingga17 tahun yang telah mencapai angka 0,9%.
Meski dianggap tepat, sebagian besar remaja sadar betul bahwa kebijakan yang diambil pemerintah kala pandemi dapat berpengaruh pada keselamatan anak-anak. Hal tersebut terungkap dari hasil polling pada Senin (24/8) yang dilaksanakan tim Madyapadma kepada 100 remaja Denpasar dengan rentang usia 13 hingga 20 tahun. Adapun karakteristik responden yaitu mayoritas berada di bangku SMA sebanyak 71%, sebanyak 10% berada di perguruan tinggi, dan sebanyak 17% merupakan siswa SMP. 74% diantara pengisi kuisioner berjenis kelamin perempuan dan 26% diantaranya laki-laki. Polling dilaksanakan dengan metode acak sederhana. Para responden membagikan pandangannya dengan mengisi kuisioner di google form.
Menurut hasil polling, hanya 8% remaja yang mengaku sangat tahu mengenai dikeluarkannya kebijakan mengenai kriteria dan persyaratan perjalanan orang dalam masa adaptasi kebiasaan baru tersebut. Mayoritas yakni sebanyak 56% remaja sudah mengetahui kebijakan tersebut, Ni Made Sabdha Devhani (16) salah satunya, ia mengaku mendapat informasi mengenai kebijakan kala pandemi melalui berita-berita di televisi. Di balik itu, 27% remaja mengaku masih belum mengetahui kebijakan ini. Bahkan Ni Made Mutia Pradnya Wangi (17) mengaku “Aku nggak tahu menahu tentang kebijakan ini,” kata Mutia singkat. Rupanya Mutia tak sendiri sebab 5% responden lain juga mengaku sangat tidak tahu mengenai kebijakan tersebut. Sedangkan sisanya sebanyak 8% memilih enggan menjawab.
Siapa sangka, kebijakan yang satu ini cukup banyak menuai respon positif dari para remaja. Terdapat 44% remaja yang beranggapan kebijakan melaksanakan adaptasi kebiasaan baru di tengah badai COVID-19 merupakan langkah yang tepat untuk kembali menghidupkan berbagai sektor secara perlahan. Bahkan, 12% responden merasa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sudah sangat tepat. Di sisi lain dengan angka yang setara yakni sebesar 12% responden beranggapan tidak tepat apabila pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melaksanakan adaptasi kebiasaan baru di tengah pandemi. “Ini justru dapat mempersulit masyarakat jika kriteria dan persyaratannya banyak,” ucap Mutia. Belum lagi terdapat dampak yang boleh jadi akan berimbas pada kesehatan masyarakat. 31% remaja masih ragu dengan kebijakan tersebut. Minoritas sebanyak 1% merasa kebijakan yang diambil pemerintah sangat tidak tepat.
Tak hanya itu, hasil polling juga menunjukkan sebanyak 54% responden berpendapat bahwa kebijakan yang diambil pemerintah saat pandemi dapat berpengaruh pada keselamatan anak-anak. Bahkan, 24% responden beranggapan kebijakan pemerintah akan sangat berpengaruh terhadap kasus COVID-19 yang menjangkiti anak-anak. Seperti halnya yang disampaikan oleh Benedicta J.W. Kuspadmarini (16), siswi kelas XI SMAN 3 Denpasar “Oh kalau pada anak-anak berpengaruh besar kayaknya, mungkin ini juga salah satu alasan kenapa sekolah nyaris satu-satunya komunitas yang masih ditutup setelah new normal. Karena mungkin kesadaran anak-anak masih dinilai kurang dan belum ada yang dapat menjamin mereka bisa ngejalanin protokol kesehatan dengan sesuai dan taat”. Tetapi di sisi lain, juga terdapat 8% responden yang berpendapat hal tersebut tak ada pengaruhnya. Sedangkan 14% responden memilih untuk tidak menjawab.
Melihat banyaknya responden yang berpendapat kebijakan yang diambil pemerintah akan berpengaruh pada keselamatan anak-anak, wajar apabila tak sedikit remaja merasa khawatir. Terlebih lagi kebijakan tersebut sudah dilaksanakan ketika badai pandemi masih ganas menyerang berbagai kalangan usia tak terkecuali anak-anak. Terbukti, sebagian besar yaitu 44% responden mengaku khawatir, sebanyak 8% responden bahkan menjawab amat khawatir. “Khawatir. Karena dengan adanya kebijakan tersebut akan semakin banyak masyarakat yang keluar pada masa pandemi. Walaupun sudah dianjurkan menerapkan social distancing, masih banyak masyarakat yang lalai melaksanakannya,” ujar Safira Dwi Ayu Anjani (16). Kendati begitu, nampaknya 22% responden tidak merasa khawatir serta sebanyak 3% lainnya memilih sangat tidak khawatir. Kemudian sisanya yakni 23% enggan untuk berpendapat (dyt/scy/ek).