Di zaman yang serba canggih ini, teknologi menjadi jiwa manusia. Tak terpatahkan, tak terelakkan. Membelenggu setiap insan di dunia tanpa pandang bulu. Amat melekat, tak terbantahkan, yakni media sosial. Ditujukan sebagai penunjang pola pergerakan manusia, efisiensi dan tepat guna layaknya titik acuan penciptaannya. Meraup keuntungan merupakan daya tarik lebih di mata masyarakat. Komunikasi dimudahkan, jangkauan interaksi sosial secara tak langsung meluas. Citra 'gaul' dan 'kekinian' bagai gambaran bagi para pengguna, khususnya remaja. Layaknya pelaku aktif, darah muda berselancar di dunia maya bermodalkan beragam akun, tak mengenal waktu dan menjamah sejumlah laman media sosial. Lantas, sejauh mana kaum milenial mampu menelaah hakikat keberadaan media sosial?
Menelisik kembali pada masa awal dimana media sosial mulai bermunculan, belum ada yang terusik akan keberadaannya. Masyarakat masih awam. Kala itu merasa amat terbantu berkat kehadirannya. Satu per satu simbol atau lambang dari media sosial memenuhi layar ponsel. Akan tetapi, esensinya banyak yang meragukan. Tak sedikit yang merasa dirugikan. Sisi negatif kian terasa belakangan ini. Warganet kerap bertingkah. Bahkan tiap detiknya menjadi tak terkendali. Apalagi kalau bukan aksi cyber-bullying. Walau sederhana tindakannya, tetap saja terkategorikan pelanggaran. Hukum secara jelas mengatur. Dibiarkan merambah hingga sosok-sosok krusial, bukan main dampaknya.
Tipe-tipe warganet, sebut saja pelaku dan korban cyber-bullying, tak jauh dari ini. Pertama, keduanya memahami apa itu cyber-bullying dan tak merasa terbebani atas dan/atau oleh tindakan yang dilakukan. Dari sisi pelaku tak bergeming, tak merasa bersalah selagi belum ada yang memberikan ganjaran. Pihak lainnya, yakni korban, menimpali balik dengan candaan. Menganggap bukan hal serius dan memberi kepercayaan bagi diri sendiri bahwa yang terjadi bukan cyber-bullying. Roda akan berputar, yang artinya dengan berkaca pada kejadian tersebut, sosok pelaku dan korban kedudukannya silih berganti.
Berikutnya, mereka yang tak mengetahui tolak ukur cyber-bullying. Tidak pernah, mungkin akan menjadi jawaban untuk pengalihan atas tindakan tak patut itu. Mengelak, tidak ingin disebut dalang atau terduga bersalah, sudah pasti. Makin banyak yang seperti ini, maka kian sulit dikontrol. Pergolakan dalam laman media sosial kian rumit menentukan siapa saja partisipannya.
Kembali pada awal mula publikasi media sosial di masyarakat. Efektivitas kehadirannya perlu dikaji ulang. Warganet harus memiliki pola pikir terbuka. Bukan dengan teman sebaya saja, informasi dan komunikasi mencakup ruang lingkup global. Akrab saja rentan menimbulkan kesalahpahaman, apalagi tidak pernah mengenal. Sudah sepantasnya, antarpengguna memahami kodrat masing-masing. Kalimat menghujam psikis di media sosial serta aib sesama tidak untuk konsumsi publik. Interospeksi diri dan pembenahan tindakan menjadi renungan bagi setiap pengguna media sosial di tengah maraknya kasus cyber-bullying. (rik)