Orang menikmati sastra. Mendongeng, berdrama, berpuisi. Namun, masih sedikit yang sadar, bahwa sastra sejatinya adalah sebuah pelajaran hidup. “Hendaknya apa yang tertuang dalam kisah ini diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari,” tutur I Wayan Sutarya bijak.
Memasuki Bulan Mei, Bali Mandara Nawanatya III kembali hadir dengan Pekan Sastra yang akan berlangsung selama satu bulan. Hari pertama menginjak pekan sastra diisi oleh dua penampil dari SMA/SMK Bali Mandara dan SMA 1 Kediri, Tabanan. SMA/SMK Bali Mandara hadir dengan garapan bertajuk Memula. ‘Memula’ yang berarti menanam, merupakan pementasan sarat makna guna menyadarkan manusia agar senantiasa mengingat lingkungan tempatnya bernaung. “Dari garapan ini kita mengajak agar senantiasa ingat dengan Tri Hita Karana khususnya pada lingkungan,” ujar I Komang Mudita pelan. Pria yang berprofesi sebagai Guru Bahasa Indonesia di SMK Bali Mandara ini pun mengungkapkan keberadaan garapan ini tak lepas dari sebuah naskah yang langsung diciptakan oleh siswa-siswi SMA Bali Mandara. “Memula ini berasal dari sebuah naskah yang digarap anak SMA Bali Mandara saat mengikuti lomba menulis naskah drama tentang lingkungan,”tambahnya.
Garapan kolaborasi ini pun menghasilkan sebuah teatrikal yang mumpuni. Bernaung dalam Sanggar 9 Pohon, Memula berhasil membuka pikiran akan berartinya lingkungan tempat diri ini hidup. Kemunculan sosok laki-laki dan perempuan berbaju merah, putih, dan hitam sambil diselingi dengan teriakan yang berima membuat penonton sedikit terkejut. Sosok-sosok tersebut datang dari kursi-kursi merah di Gedung Ksirarnawa. Sesekali mereka menatap tajam mata penonton dan menggeram. Pada akhirnya, dengan balutan property yang sederhana dengan sebagian besar menggunakan bahan daur ulang, Sang tokoh utama berhasil menyadarkan masyarakat agar senantiasa peduli pada lingkungan. Dengan iringan nyanyian dari musikalisasi puisi Gumi Sindur oleh Ketut Rida dan Ampurayang Ratu oleh Memedi Putih, menambah suasana halus sekaligus mencekam di dalamnya.
Tak kalah kaya akan makna, SMA Negeri 1 Kediri dengan garapannya ‘Tantri Dongeng Anjingku’ turut berhasil memberi pesan kepada khalayak ramai. Garapan yang dikemas dengan konsep cerita berbingkai (cerita dibalik cerita-red) ini bermula saat Ni Diah Tantri yang cantik jelita nyaris diperkosa oleh Sang Raja, namun dengan cerita bijaknya Sang Raja tersadar. Tokoh yang diceritakan Ni Diah Tantri pun turut bercerita kisah lainnya, dan begitu seterusnya hingga kembali pada Ni Diah Tantri. “Utamanya yang ingin disampaikan adalah bagaimana kebaikan bisa memerangi kejahatan apapun itu bentuknya,” ujar Kepala SMA Negeri 1 Kediri, I Wayan Sutarya. Bagi pria yang baru 4 bulan menjabat sebagai kepala sekolah ini pun menuturkan keberhasilan anak didiknya tak lepas dari adanya keterlibatan semua pihak. “Semua yang terlibat semangat dan kebetulan ada mahasiswa UNDIKSHA yang sedang praktek mengajar jadi mereka turut membantu berlangsungnya garapan ini,” terangnya. Tak ubahnya sebagai pendidik, harapan Sutarya pun sederhana, hendaknya agar makna yang didapat bisa diterapkan dalam kehidupan. “Dari kisah itu ambil makna dan terapkan yang baik, dan untuk Nawanatya. Meskipun pimpinannya ganti, tetaplah ada Nawanatya ini. Agar anak muda tidak jauh berpaling dari kebudayaan kita,” tutupnya tegas. (Tim MP)